BANDA ACEH – Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) meluncurkan dan bedah buku “Kronik Damai Aceh”.
Kegiatan yang berlangsung di Ruang Rapat Serba Guna DPRA, Rabu (18/8), menghadirkan Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin, Wakil Ketua II DPRA Hendra Budian, Anggota DPR RI Nasir Djamil serta Sekjen ACSTF Juanda Djamal.
Lima seri buku Kronik Damai Aceh ini dirumuskan oleh tim antara lain Otto Syamsuddin Ishak, Juanda Djamal, Fajar Andi Sahputra, Dedy Zulwansyah, Maulidia Adinda, dan Hermanto.
Buku tersebut berisikan berita-berita yang diterbitkan oleh sejumlah media massa antara tahun 2005-2017.
Inisiatif tersebut dilakukan agar memudahkan semua pihak memahami proses perdamaian dan dinamika sosial-politik, serta ekonomi berlangsung kurun waktu tersebut.
Sekjen ACSTF Juanda Djamal mengatakan, ada beberapa isu strategis yang kemudian dapat diintisarikan, yaitu berkenaan dengan stabilitas keamanan, dinamika politik dan demokratisasi, keadaan sosio-ekonomi, pembangunan manusia dan bahkan perlunya pembaharuan hubungan dan komunikasi politik Aceh-Jakarta.
“Kesepakatan politik Helsinki sebenarnya titik tolak transformasi perjuangan Aceh dari bersenjata ke politik/diplomasi, tentunya memiliki tantangan yang berbeda dengan sebelumnya, maka UUPA menjadi kerangka regulasi yang dapat dipergunakan untuk membangun struktur baru pemerintahan Aceh dalam kerangka pembagian kekuasaan dan kewenangan yang lebih jelas,” kata Juanda, yang juga Ketua Fraksi Partai Aceh DPR Kabupaten Aceh Besar, saat membedah buku kronik tersebut.
Juanda mengatakan, selama 16 tahun, Aceh telah bergerak jauh, tetapi pemikiran dan perilaku politiknya terjebak dalam kerja-kerja rutinitas, sehingga implementasi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) jauh dari harapan politik yang dibangun ketika masih dalam proses negosiasi di Jenewa maupun Helsinki.
“Sudah saatnya kita refleksikan perjalanan politik kita, sekaligus juga memulai langkah baru dengan rekonsolidasi seluruh komponen yang pernah terlibat saat negosiasi dan pembahasan RUU Pemerintahan Aceh ini. Perlu ada langkah bersama, kita bangun lagi harapan besar secara bersama, tentunya dalam kerangka menguatkan UUPA.
Tentunya, DPRA yang hari ini hadir ketua dan wakil ketua dapat memimpin terhadap langkah penguatan UUPA di masa depan,” terang Juanda.
Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin mengatakan buku ini mencatat banyak peristiwa selama 16 tahun perdamaian Aceh, dimana ada hal-hal yang perlu dibenahi dengan harapan cita-cita damai itu bisa terjaga dan terawat.
Wakil Ketua II DPRA Hendra Budian mengatakan buku tersebut merupakan catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya, sehingga pergantian antar isu dan waktu begitu jelas terpaparkan dalam konteks tertentu.
Misalnya bagaimana MoU Helsinki muncul, dalam konteks politik yang seperti apa, di baliknya tersembunyi kepentingan atau tujuan politiknya, serta siapa saja aktor yang terlibat.
Tambahnya, buku ini menjelaskan banyak isu dan hal-hal yang harus diperjuangkan. terutama dalam membahas penguatan UUPA ke depan.
“Banyak kepingan sejarah yang disusun, setidaknya buku ini menjadi kompas buat kita menyusun langkah baru, terutama dalam revisi UUPA ke depan, Ini PR besar yang harus kita hadapi,” sebut politisi Partai Golkar ini. (IA)