Amnesti, Abolisi, dan Amnesia Korupsi
OLEH: MUHAMMAD ARAS Prabowo*
KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong menjadi preseden hukum dan Politik yang mengguncang opini publik.
Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, pemberian amnesti dan abolisi memang dimungkinkan secara konstitusional, namun tidak lepas dari kritik tajam terutama ketika diterapkan dalam kasus tindak pidana korupsi.
Sebab, pemberian pengampunan ini tak ubahnya membuka jalan bagi amnesia kolektif terhadap kejahatan korupsi yang merugikan bangsa secara sistemik.
Secara istilah, amnesti merupakan pengampunan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang atas tindak pidana tertentu, yang biasanya bersifat politis dan diberikan oleh presiden dengan pertimbangan DPR.
Abolisi, di sisi lain, merupakan penghapusan proses hukum terhadap suatu perkara pidana sebelum perkara tersebut diputus pengadilan.
Pembedaan ini penting, karena dalam kasus Hasto Kristiyanto yang telah divonis 3,5 tahun penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi, pemberian amnesti berarti menghapus akibat hukum dari putusan tersebut. Sedangkan dalam kasus Tom Lembong, abolisi membuat proses hukumnya dihentikan sebelum mencapai vonis.
Namun publik bertanya-tanya, apa urgensi pengampunan ini?
Dalam konteks keadilan, amnesti dan abolisi kerap diberikan untuk meredam konflik politik atau mengakhiri perpecahan nasional. Di masa lalu, Presiden Soekarno pernah memberikan amnesti dan abolisi kepada para pemberontak PRRI/Permesta demi stabilitas nasional.
Sementara itu, Presiden BJ Habibie memberikan amnesti kepada tahanan politik era Orde Baru demi membuka lembaran baru demokrasi. Namun, apakah alasan yang sama bisa diterapkan dalam kasus korupsi hari ini? Apakah korupsi bisa dianggap sebagai tindak pidana politik yang layak diberi pengampunan?
Dalam konteks Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, kasus korupsi mereka bukanlah bagian dari konflik politik bersenjata atau penindasan atas aspirasi rakyat, melainkan bagian dari kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merampas hak ekonomi rakyat.
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, ia menghancurkan tata kelola negara, merusak kepercayaan publik, dan melemahkan institusi demokrasi.
Oleh karena itu, ketika amnesti dan abolisi diberikan kepada pelaku korupsi, publik tidak hanya merasa keadilan diabaikan, tetapi juga merasakan adanya “amnesti yang berubah menjadi amnesia”, yakni melupakan sejenak bahkan menghapus jejak pelanggaran hukum yang telah terjadi.
Amnesia melupakan sejenak kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, baik yang sudah diputuskan maupun dalam proses sidang.
Pemberian pengampunan ini bukan hanya soal hukum, tapi tentang arah moral bangsa. Apakah kita sedang memulai babak baru rekonsiliasi nasional? Ataukah ini sinyal pelemahan komitmen pemberantasan korupsi?
Dampak dari kebijakan ini sangat luas. Pertama, pemberian amnesti dan abolisi terhadap koruptor dapat menjadi insentif negatif. Pelaku korupsi lain akan merasa memiliki peluang lolos dari hukuman jika memiliki kedekatan politik atau kekuasaan.
Kedua, kepercayaan masyarakat terhadap KPK dan lembaga peradilan bisa runtuh. Bagaimana mungkin penegakan hukum yang telah berjalan, proses persidangan yang memakan waktu dan biaya besar, dibatalkan dengan keputusan politik?
Ketiga, ini dapat memicu ketegangan sosial antara kelompok pro-penegakan hukum dan kelompok yang menghendaki rekonsiliasi demi stabilitas politik.
Di tingkat global, pemberian amnesti dan abolisi untuk kasus korupsi sangat jarang dilakukan. Beberapa negara bahkan mencantumkan dalam konstitusinya bahwa korupsi tidak bisa diampuni.
Indonesia, dengan kasus ini, justru memberi sinyal sebaliknya. Ini menjadi ironi ketika Transparency International menempatkan Indonesia dalam kategori negara dengan indeks persepsi korupsi yang masih tinggi.
Namun demikian, rekonsiliasi politik memang menjadi keniscayaan dalam situasi polarisasi tajam. Pemerintah ingin memulai pemerintahan yang stabil, tanpa gangguan konflik elite. Tapi rekonsiliasi seharusnya tidak mengorbankan penegakan hukum.
Antara rekonsiliasi dan penindakan korupsi, harus ada jalan tengah. Misalnya, penegakan hukum tetap berjalan, namun diimbangi dengan jaminan keadilan restoratif, bukan penghapusan hukuman sepihak.
Dalam konteks ini, Presiden Prabowo harus transparan kepada publik, apa alasan konkret pemberian amnesti dan abolisi ini? Apa manfaatnya bagi bangsa dalam jangka panjang? Tanpa keterbukaan, publik hanya akan melihat ini sebagai “pengampunan politik” yang mengaburkan prinsip negara hukum.
Akhirnya, amnesti dan abolisi seharusnya menjadi alat rekonsiliasi yang adil, bukan jalan pintas melupakan kejahatan korupsi. Jika tidak, bangsa ini akan tenggelam dalam amnesia moral, di mana korupsi dianggap lumrah, dan keadilan hanya menjadi slogan.
Jangan biarkan amnesti dan abolisi menjadi simbol amnesia kita terhadap masa depan yang bersih dari korupsi.
“(Penulis adalah Pengamat Ekonomi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta)