BANDA ACEH — Ketua Komisi 1 DPRA yang membidangi politik, hukum, keamanan dan pemerintahan Iskandar Usman Al-Farlaky menilai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI telah melabrak Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahkan Bawaslu tidak menghargai kekhususan Aceh (lex Spesialis) sebagaimana diatur dalam kontitusi Republik Indonesia.
“Mereka buat UU sendiri kemudian mereka yang langgar sendiri. Apakah mereka tidak bisa membaca regulasi dengan makna yang jelas, atau sengaja mengaburkannya. Terkait pembentukan Panwaslih dan fungsinya sudah jelas diatur di dalam UUPA dan juga putusan MK, serta telah dirumuskan dalam Qanun Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan di Aceh Nomor 6 Tahun 2018. Kenapa malah Bawaslu yang melabel nama Panwaslih dan merekrut sendiri pansel,” kata Iskandar Usman Al Farlaky, Rabu (28/12/2022).
Hal itu disampaikan menanggapi keluarnya surat Bawaslu RI Nomor 602/HK.01.01/K1/12/2022 Tentang Pembentukan Tim Seleksi Calon Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh, yang nama-namanya sudah ditetapkan Bawaslu RI.
Kata Iskandar, jika merujuk pada UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka tidak ada lagi dualisme lembaga pengawas baik pemilu maupun pilkada di Aceh.
“Posisi dan mekanisme rekrutmen sebagaimana diatur dalam UUPA serta Qanun Pilkada. Begitu juga dalam putusan MK yang menyatakan Panwaslih merupakan satu kesatuan dan hirarki dengan Bawaslu,” tandasnya.
Dikatakannya, istilah Panwaslih pertama sekali disebutkan dalam UUPA, yaitu pada Pasal 60 ayat (1), ayat 2 (dua), 3 (tiga) dan ayat 4. Dan pada ketentuan ayat (4) undang-undang tersebut cukup tegas disebutkan bahwa Anggota Pengawas Pemilihan Aceh beranggotakan 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK.
Sementara di dalam Qanun Pemilihan Umum dan Pemilihan di Aceh pada pasal 36 ayat (1) disebutkan pengawasan pemilu dan pemilihan di Aceh dilakukan oleh Panwaslih Aceh, Panwaslih Kabupaten/Kota, Penwaslih Kecamatan, PPL, atau nama lain dan Pengawasan TPS.