“Jadi tidak hanya pilkada saja, namun pileg dan juga pilpres,” ujarnya.
Mantan Juru Bicara Tim Gugatan DPRA ke MK itu mengatakan, penegasan pembentukan Panwaslih Aceh merupakan kewenangan DPRA juga termaktum dalam Keterangan DPR RI terhadap dalil para pemohon dalam Perkara Nomor 66/PUU-XV/2017 halaman 48 angka 3) huruf d sebagai berikut “Bahwa para pemohon jikalau merasa dirugikan dengan keberlakukan Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), Pasal 557 Ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu dengan perasaan bahwa merasa hak yang dimiliki oleh DPRA menjadi hilang dalam membentuk penyelenggara pemilu di Aceh, maka hal tersebut adalah keliru.
Mengapa? Karena yang dibatalkan di UUPA hanya Pasal 56 dan Pasal 60 ayat (1). Ayat (2), dan ayat (4). Karena di pasal 56 ayat (4) UUPA misalnya, begitu juga Pasal 60 ayat (3) UUPA keduanya masih hidup. Sehingga jelas bahwa DPRA masih berwenang memilih KIP dan Panwaslih Aceh…”
Kendati tidak disebutkan sebagai penjelasan dari Pasal 571 huruf d Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, namun mengacu pada metode tafsir otentik hukum, maka keterangan DPR RI yang disampaikan dihadapan hakim Mahkamah Konstitusi di atas patut dianggap sebagai tafsir yang paling benar, karena DPR RI merupakan pihak yang disamping berwenang membuat UU juga tentu sangat memahami seluruh substansi undang-udang dimaksud.
Dengan demikian, upaya Bawaslu RI membentuk Panwaslih Aceh patut dipertanyakan memiliki maksud-maksud lain yang tidak sejalan dengan semangat kekhususan Aceh dan menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, terang Iskandar, ketentuan Pasal 557 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mewajibkan kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan undang-udang Nomor 7 tersebut juga telah dibatalkan atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 66/PUU-XV/2017.
Iskandar menambahkan, Keputusam MK sebagaimana tersebut di atas tentu semakin menguatkan argumentasi hukum bahwa baik KIP maupun Panwaslih pengaturannya tidak lagi mengacu kepada UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, melainkan harus dikembalikan sesuai UUPA.