Mahkamah Syar’iyah lembaga keistimewaan di Provinsi Aceh saat ini tepat berusia 17 tahun pada 1 Muharram 1442 Hijriah.
Sebagai lembaga peradilan syari’at Islam di Aceh, Mahkamah Syar’iyah adalah pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada 1 Muharram 1424 H atau 4 Maret 2003 Masehi sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, Keppres Nomor 11 Tahun 2003 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002.
“Dengan diundangkannya UU Nomor 44/1999, kemudian lahir UU Nomor 18 tahun 2001 tentang tentang Otonomi Khusus Provinsi Aceh, telah terjadi sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh, karena salah satu lembaga yang harus ada di Aceh dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus adalah peradilan syariat Islam yakni Mahkamah Syar’iyah,” ujar Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Dra Hj. Rosmawardani, SH MH, di Banda Aceh, Kamis (20/08/2020).
Dijelaskannya, Qanun Nomor 10 tahun 2002 mengatur tentang Peradilan Syariat Islam. Kemudian Keppres Nomor 11 tahun 2003 mengatur tentang pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai pengembangan dari peradilan agama yang diresmikan pada tanggal 1 muharram 1424 H atau bertepatan dengan tanggal 4 Maret 2003 oleh Ketua Mahkamah Agung, Prof Dr. Bagir Manan dengan dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, Menteri Agama Said Agil Almunawar, dan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra.
Disebutkannya, kekuasaan dan kewengan Mahkamah Syar’iyah adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.
Kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama, sesuai dengan pasal 49 ayat (1) undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan;
Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; Waqaf dan shadaqah.
Bidang Perkawinan adalah kekuasaan dan kewenangan menyangkut hal-hal yang diatur dalam atau didasarkan kepada Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
Bidang kewarisan adalah kekuasaan dan kewenangan penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Dalam melaksanakan amanat dari pasal 25 Undang-udang Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 tahun 2002 telah memberikan kewenangan terhadap Mahkamah Syar’iyah untuk memeriksa, memutus dan menyelsaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dan banding: Al-Ahwa Al-Syakhshiyah Mu’amalah dan
Jinayah.
Keuasaan dan kewenangan tersebut akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersedian sumber daya manusia dalam kerangka sistem Peradilan Nasional.
“Untuk persoalan muamalah ekonomi syariah di Aceh, seluruh lembaga keuangan sudah syariah. Semua ini jadi tugas mahkamah, baik perdata maupun pidananya,” terang
Rosmawardani.
Setelah 17 tahun berdiri, kini lembaga ini dipimpin oleh seorang perempuan Aceh kelahiran Samalanga, Kabupaten Bireuen, 8 Desember 1954.
Semoga dengan tangan halusnya akan membawa keberkahan, dan Allah SWT akan senantiasa membantu supaya terus mendapat kepercayaan umat.
Sekarang di usia 17 tahun lembaga ini sudah beranjak remaja. Dengan wewenangnya yang cukup banyak. Menangani persoalan keluarga (Akhwalus Syahksiyah), muamalah dan jinayah.
Sementarq Pemerintah Aceh juga ikut bertanggung jawab terhadap lembaga ini sebagaimana telah diatur dengan UU Nomor 11 Tahun 2006. (IA)