Dari sini dapat dipahami, untuk memperoleh petunjuk Allah, yang dibutuhkan hanya keinginan dari diri manusia.
Tanpa keinginan yang sungguh-sungguh, petunjuk Allah tidak akan menemukan momentumnya dalam diri manusia. Kesungguhan manusia dalam menjemput hidayah Allah dicerminkan dalam lafal “ihdinā ṣirāṭal mustaqīm”.
Saat Allah melihat kesungguhan manusia, hidayah Allah datang lebih cepat lagi dari pada kesungguhan manusia. Dalam sebuah hadits qudsi Allah bersabda, “Wa in taqarraba ilayya bisyibrin taqarrabtu ilaihi dzirā‘an” (Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta), “Wa in taqarraba ilayya dzirā‘an taqarrabtu ilaihi bā‘an (Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sehasta, Aku pun mendekat kepadanya sedepa), “Wa in atānī yamsyī ataituhu harwalatan” (Jika seorang hamba mendatangi-Ku sambil berjalan, maka Aku mendatanginya sambil berlari).
Melalui surat al-Fātiḥah ayat 6, Allah juga menjarkan kolektivitas dalam berdoa (al-du‘ā al-jamā‘ī). Meskipun kita membaca al-Fātihah pelan, sendiri dan di dalam hati. Tetap bunyi bacaannya “ihdinā” (tunjukilah kami), bukan “ihdinī (tujukilah aku). Dalam ilmu tasawuf, format “doa yang diaminkan” merupakan cara yang paling mujarrab agar doa kita dikabulkan Allah.
Dikisahkan dalam surat al-Baqarah ayat 126-129, setiap kali Ibrahim berdoa, Ismail datang mengaminkan doa ayahnya, Ibrahim. Dalam hadits juga terdapat cukup banyak riwayat yang menceritakan doa Nabi yang diaminkan Jibril dan juga sebaliknya doa Jibril yang diaminkan Nabi.
Selanjutnya, objek yang diminta pada kata “ihdinā” adalah jalan yang lurus (ṣirāṭal mustaqīm). Permintaan semacam ini sangat lah alamiah jika ditinjau dari kecenderungan manusia yang senantiasa menyukai kebaikan dan kebenaran.
Dalam hadits kecenderungan ini disebut ḥanīf. Bahkan menurut sebuah hadits qudsi, Allah menciptakan manusia semuanya dengan kencederungan ini (khalaqtu ‘ibādī ḥunafā’a kullahum). Tetapi dinamika kehidupan membuat manusia sering melupakan bakat ḥanīf pada dirinya.