Dalam hadits qudsi di atas, juga dijelaskan sebab tergelincirnya manusia dari jalan lurus itu adalah “Wa innahum atathum al-syayāṭīna fājtālathum ‘an dīnihim” (Kemudian setan datang dan membuat mereka jauh dari ajaran agama).
Maka demikian, manusia membutuhkan pegangan dalam kehidupan ini agar dia selalu berada di bawah petunjuk Allah. Ibn Abī Syaibah dalam kitab al-Muṣannaf menceritakan kebiasaan Abū Bakar yang membaca doa “Rabbanā lā tuzigh qulūbanā ba‘da idz hadaitanā wahablanā min ladunka raḥmatan innaka anta al-wahhāb” (Ya Allah janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi anugerah).
Abū Bakar membaca doa itu secara sirr (pelan) setelah membaca al-Fātiḥah pada rakaat ketiga shalat Maghrib.
Berdasarkan praktik Abū Bakar ini, Ibn Katsir dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓim memahami firman Allah, “Ihdinā ṣirāṭal mustaqīm” dengan makna “Ya Allah, rawatlah ke-ḥanīf-an yang telah Engkau tanamkan pada jiwa kami, sehingga selalu kami cenderung kepada jalan yang lurus.” Amin.
*Penulis Sekretaris Lembaga Penjaminan Mutu ( LPM) UIN Ar-Raniry