Hukum Menafkahi Anak Tiri
Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb. Min, mau tanya, hukum menafkahi anak tiri dalam Islam, beserta dalil yang jelas. Atas perhatian dan jawabannya kami ucapkan terima kasih banyak.
Jawaban:
Waalaikumussalam Wr. Wb. Saudara penanya yang budiman kami sampaikan terima kasih sudah berkenan bertanya kepada kami. Semoga saudara penanya dan pembaca setia NU Online selalu dimudahkan oleh Allah SWT dalam segala urusannya.
Dalam setiap keputusan besar, sering kali ada pihak yang menjadi korban. Hal ini terlebih nyata dalam kasus perceraian, terutama bagi keluarga yang telah dikaruniai buah hati. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempertimbangkan keputusan perceraian secara mendalam dengan kepala dingin.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh suami dan istri, tetapi juga, dan bahkan lebih besar oleh anak-anak yang tidak bersalah. Masa depan mereka bisa terganggu akibat perpisahan orang tua, apalagi jika kemudian diasuh oleh ayah tiri. Baik dari segi kasih sayang maupun pemenuhan nafkah, tidak selalu mudah bagi anak untuk mendapatkan sosok pengganti ayah kandungnya.
Sebelum menjawab pertanyaan saudara penanya, terlebih dahulu perlu kami tegaskan bahwa yang berkewajiban memberi nafkah kepada anak adalah ayah kandungnya sebagaimana firman Allah SWT:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
Artinya: “Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (Al-Baqarah [2]:233)
فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ
Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka.” (Ath-Thalaq [65]:6)
Para ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil atas kewajiban seorang ayah dalam menafkahi anak. Hal ini karena ayat tersebut menjelaskan kewajibannya memberikan upah menyusui anak. Dengan demikian ayat tersebut menunjukkan kewajiban ayah untuk memenuhi segala kebutuhan anaknya. (Lihat karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khatib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz II, halaman 480).