Ini Lima Tantangan Syariat Islam di Aceh yang Harus Diselesaikan
Banda Aceh, Infoaceh.net – Di tengah kekhususan yang dimiliki Aceh dalam menerapkan syariat Islam, Guru Besar Filsafat Islam UIN Ar-Raniry, Prof Dr Syamsul Rijal MAg menilai bahwa pelaksanaan syariat di Aceh masih menghadapi berbagai tantangan serius, terutama dalam hal substansi dan dampaknya terhadap masyarakat.
Hal ini disampaikan Prof Syamsul saat menjadi narasumber dalam siaran khusus RRI Banda Aceh memperingati Hari Lahir Pancasila, Ahad (1/6/2025).
Ia menyebutkan bahwa tantangan syariat Islam di Aceh kini tidak lagi berada pada ranah legalitas atau regulasi negara, tetapi terletak pada sejauh mana nilai-nilainya benar-benar hadir dalam kehidupan sosial masyarakat.
“Negara sudah memberikan legalitas kepada Aceh untuk menjalankan syariat Islam. Tapi tantangan kita hari ini adalah bagaimana syariat itu membentuk masyarakat yang adil, berakhlak, dan sejahtera,” ujarnya.
Berikut lima tantangan utama yang disorot Prof. Syamsul dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh:
1. Syariat yang Masih Simbolik
Banyak implementasi syariat di Aceh masih berhenti pada level simbol dan formalitas, seperti pakaian seragam, baliho, atau razia. Padahal, esensi syariat adalah membentuk akhlak, keadilan, dan kesejahteraan.
“Kalau hanya sebatas simbol, masyarakat tidak akan merasakan manfaat nyata dari syariat,” ujarnya.
2. Lemahnya Pemahaman Masyarakat
Syariat Islam belum sepenuhnya dipahami secara substansial oleh masyarakat. Banyak yang melihatnya sekadar sebagai aturan hukuman, bukan sebagai sistem nilai yang membentuk kemaslahatan umum.
“Syariat itu bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk memuliakan manusia,” kata Syamsul.
3. Ketimpangan antara Hukum dan Pelayanan Publik
Penekanan syariat sering kali berat sebelah, lebih fokus pada aspek penegakan hukum seperti hukum cambuk dan razia moral, sementara aspek keadilan sosial seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, dan ekonomi belum menjadi prioritas.
“Syariat harus hadir juga dalam kebijakan publik yang memihak rakyat kecil,” tegasnya.
4. Minimnya Keteladanan dari Pemimpin
Prof. Syamsul juga mengkritik kurangnya keteladanan moral dari para pemimpin.
Pemimpin dan aparatur pemerintah sering kali gagal menjadi teladan dalam akhlak, kejujuran, dan amanah. Ketika elite justru terlibat dalam korupsi atau penyalahgunaan wewenang, legitimasi moral syariat ikut tergerus di mata rakyat.
“Ketika pejabat atau elite justru terlibat korupsi atau penyalahgunaan wewenang, maka masyarakat kehilangan kepercayaan. Kalau pemimpinnya tidak adil dan amanah, bagaimana bisa syariat ditegakkan dengan benar?” katanya.
5. Kurangnya Keterlibatan Masyarakat
Pelaksanaan syariat selama ini cenderung top-down, datang dari pemerintah tanpa partisipasi aktif dari masyarakat. Padahal, menurutnya, keberhasilan syariat sangat ditentukan oleh keterlibatan umat secara kolektif. “Syariat bukan sekadar aturan yang dipaksakan, tetapi nilai hidup yang harus dirasakan dan dijalankan bersama. Dan di sinilah peran besar pendidikan, keteladanan, dan keikhlasan dalam membangun Aceh yang adil dan bermartabat,” ucap Prof. Syamsul Rijal.
Pancasila dan Syariat Bukan Dua Kutub yang Bertentangan
Prof. Syamsul juga menekankan bahwa syariat Islam dan Pancasila dapat berjalan selaras. Nilai-nilai seperti keadilan sosial, persatuan, dan musyawarah memiliki landasan kuat dalam ajaran Islam. “Kalau kita pahami secara jernih, Pancasila justru bisa menjadi nafas baru bagi syariat Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” ujarnya.