Makna hadits di atas menyatakan bahwa hari Jumat adalah hari terbaik dalam sepekan. Banyak peristiwa penting dalam sejarah manusia terjadi pada hari ini. Namun, sebagian umat Islam khawatir dengan larangan berpuasa khusus pada hari Jumat. Larangan tersebut hanya berlaku jika puasa dilakukan secara tunggal pada hari Jumat tanpa disertai hari sebelum atau sesudahnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud:
لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِي مَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ
Artinya: “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali pada hari yang diwajibkan atas kalian (puasa wajib),” (HR. Imam Abu Dawud).
Para ulama memahami bahwa larangan berpuasa pada hari Sabtu berlaku jika dilakukan secara tunggal, yakni hanya pada hari itu saja tanpa disandingkan dengan hari lain. Namun, apabila puasa tersebut dilakukan berurutan atau bertepatan dengan puasa lain, seperti Ayyamul Bidh atau puasa Muharram, maka hukumnya diperbolehkan.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa larangan puasa pada hari Sabtu tidak bersifat mutlak. Hukum makruh berlaku jika seseorang mengkhususkan hari Sabtu saja untuk berpuasa. Namun, jika puasa itu digabung dengan hari lain, bertepatan dengan kebiasaan tertentu, misalnya seseorang melaksanakan puasa Dawud yang jatuh pada hari Sabtu, atau bertepatan dengan hari-hari sunnah seperti Arafah, Asyura, enam hari Syawal, atau Ayyamul Bidh, maka puasa tersebut tidak hanya diperbolehkan, tetapi bahkan disunnahkan.
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan ulama lainnya juga membolehkan puasa hari Sabtu jika disertai hari lain atau bertepatan dengan hari yang dianjurkan untuk berpuasa. Mereka tidak memahami larangan tersebut sebagai sesuatu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagaimana penjelasan Imam Nawawi dalam Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (Beirut: Darul Fikri), Juz VIII, hlm. 20:
وقال الإمام مالك، والشافعي، وأبو حنيفة، والجمهور: لا كراهة في صوم يوم السبت وحده، وأن الحديث شاذ أو منسوخ، أو أن النهي فيه إنما هو لمن خصه بالصوم، كما خص اليهود يوم السبت
Artinya: “Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan mayoritas ulama mengatakan: tidak makruh (tidak ada larangan) berpuasa hari Sabtu secara khusus. Mereka menilai bahwa hadits larangan tersebut adalah hadits syadz (ganjil atau menyelisihi hadits sahih lainnya), atau telah di-nasakh (dihapus hukumnya), atau bahwa larangan itu hanya berlaku bagi orang yang mengkhususkan hari Sabtu saja untuk puasa, sebagaimana orang Yahudi mengkhususkan hari Sabtu.”
وقالوا: إذا صامه مع يوم قبله أو بعده، أو وافق عادة له، أو كان في أيام البيض، أو صوم نذر، أو قضاء، أو كفارة، فلا كراهة
Artinya: “Mereka juga berkata: Jika seseorang berpuasa hari Sabtu bersama hari sebelumnya atau sesudahnya, atau bertepatan dengan kebiasaan rutin puasa, atau dalam rangka Ayyamul Bidh (puasa tengah bulan), puasa nadzar, qadha, atau kaffarat, maka tidak ada larangan sedikit pun.”