Kualitas Iman Ditentukan dengan Kecintaan Kepada Rasulullah
ACEH BESAR —- Mencintai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam merupakan kewajiban bagi setiap muslim, bahkan seseorang belum dikatakan beriman dengan iman yang sempurna sebelum ia mencintai Rasul melebihi cintanya kepada manusia dan harta.
Karena, mencintai Rasulullah termasuk pokok agama. Ha ini sekaligus bukti dan konsekuensi beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah makna syahadatain yang wajib diikrarkan oleh seorang muslim, baik dari orang kafir yang masuk Islam atau orang Islam yang terlahir dalam Islam.
Dosen Fikih dan Ushul Fiqh pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Ustaz Dr Tgk Muhammad Yusran Hadi Lc MA akan menyampaikan hal tersebut dalam khutbah Jum’at di Masjid Besar Abu Indrapuri, Kecamatan Indrapuri, 6 Oktober 2023 bertepatan dengan 20 Rabiul Awal 1445 Hijriah.
Dia menjelaskan, kualitas iman seseorang sangat ditentukan dengan kecintaannya kepada Rasul. Orang yang memiliki iman yang sempurna selalu memposisikan cintanya kepada Rasul saw dengan posisi urutan pertama dibandingkan kepada manusia lain dan harta.
Cintanya kepada Rasul melebihi cintanya kepada orang tuanya, istri, suaminya, anaknya, bahkan dirinya sendiri dan hartanya.
“Itu sebabnya Rasulullah pernah menegur Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu ketika ia menggambarkan kecintaannya kepada Rasul, dan menempatkan posisi cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, maka Rasul menafikan kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada Rasul di atas segala-galanya. Maka Umarpun menegaskan cintanya kepada Rasul melebihi dirinya. Lalu Rasul membenarkannya,” urainya.
Menurut Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh ini, para ulama sepakat mengatakan, bahwa mencintai Rasulullah berarti mengikuti petunjjuk Rasulullah, mengamalkan sunnahnya, membela sunnahnya, membela syariatnya, berselawat kepadanya sesuai pentunjuknya, patuh kepada perintah dan larangannya, menjadikannya sebagai idola dan panutan, mencintai para sahabatnya, mencintai apa yang ia cintai, dan membenci apa yang ia benci.
“Inilah makna mencintai Rasulullah saw sesuai dengan syariat Islam,” tegasnya.
“Tabiat orang yang mencintai seseorang adalah mengikuti orang yang dicintai, patuh kepada perintah dan larangannya, memujinya, menyebut-nyebut namanya, membelanya, mencintai apa yang ia cintai, dan membenci apa yang ia benci,” tambahnya.
Ustaz Yusran Hadi menjelaskan, seseorang yang mencintai Rasulullah berarti dia mengikuti Rasulullah, patuh kepada perintah dan larangnya, mengamalkan sunnahnya, membela sunnahnya, membela syariatnya, mencintai apa yang ia cintai dan membenci apa yang ia benci.
Bila tidak, berarti ia tidak mencintai Rasul. Ucapannya hanya klaim semata tanpa bukti, bahkan kedustaan yang nyata.
Doktor Fikih dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), mengutip kitab yang ditulis seorang ulama besar dari Andalusia Asy-Syifaa Bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafaa”, bahwa Al-Qdhi Iyadh rahimahullah (wafat 544 H), menyebutkan tanda-tanda orang yang mencintai Rasulullah, antara lain, pertama, mengikuti sunnah Rasulullah, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan. Dia akan mengerjakan seluruh perintah Rasulullah saw, menjauhi larangannya dan berperilaku seperti beliau dalam keadaan suka dan duka.
“Kedua, lebih memprioritaskan ajaran syariat Rasulullah, sehingga rela untuk mengeyampingkan dorongan syahwatnya dan ketiga, membenci manusia karena Allah, bukan berdasarkan dendam pribadi,” ujarnya.
Dengan demikian, tegas Ustaz Yusran Hadi, mencintai Rasulullah berarti mengikuti petunjuknya, mentaati perintah dan larangannya, mengamalkan sunnahnya pada setiap saat dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar seremonial tahunan, serta bershalawat kepadanya sesuai yang tuntunannya.
“Mencinti Nabi dengan cara menjadikannya sebagai idola dan panutan, mencintai para sahabatnya, mencintai apa yang ia cintai, dan membenci apa yang ia benci,” pungkasnya. (IA)