Dalam kitab Dhiya’ul Budur juga disebutkan amalan lain yang sangat dianjurkan pada hari Asyura’, di antaranya adalah [1] memberi nafkah lebih pada keluarga, [2] menyantuni anak yatim dan fakir miskin, [3] memperbanyak istighfar dan amal kebajikan, [4] mandi sunnah, berhias, dan bersedekah, [5] membaca surat Al-Ikhlash 1.000 kali, sebagai bentuk dzikir dan harapan akan keselamatan.
Semua itu menunjukkan betapa bulan ini adalah ladang amal dan ladang keberkahan, jika kita mau memanfaatkannya dengan baik.
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Namun, bulan ini tidak hanya tentang ibadah spiritual individual seperti puasa dan zikir. Dalam kitab tersebut disebutkan, hari Asyura atau tanggal 10 Muharram kemarin bukan hanya hari dianjurkan untuk berpuasa, tetapi juga hari untuk memperluas nafkah kepada keluarga dan memberi kepada kaum miskin.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ
Artinya: “Barang siapa melapangkan nafkah kepada keluarganya di hari ‘Āsyūrā’, maka Allah akan melapangkan rezekinya sepanjang tahun.” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Mas’ud)
Jika kepada keluarga saja kita dianjurkan untuk memberi lebih, maka bagaimana pula kepada tetangga kita yang kelaparan, fakir miskin yang tidak sanggup membeli beras, atau anak yatim yang bahkan tidak tahu hari itu hari besar?
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Bulan Muharram mengajarkan kita nilai empati dan solidaritas. Di tengah situasi kesenjangan sosial dan ekonomi yang makin terasa, harga bahan pokok naik, pekerjaan sulit didapat, sebagian masyarakat hidup dalam kemiskinan, maka bulan mulia ini adalah momentum untuk menghidupkan kembali jiwa sosial Islam.
Islam bukan hanya ibadah vertikal, tetapi juga mengasihi sesama, menolong yang lemah, menyantuni yang kekurangan. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ
Artinya: “Bukanlah orang yang beriman, seseorang yang kenyang sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya.” (HR. al-Hakim)