Mengendapkan kesalah pahaman bukanlah penyelesaian yang tuntas, tapi tergesa-gesa untuk melakukan kritik terbuka seringkali tidak mampu menuntaskan permasalahan. Sebab yang diselesaikan bisa jadi bukanya hanya kesalahpahaman yang nampak di luar, tapi mungkin berakar dalam diri yang lebih dalam sehingga penyelesaiannya diperlukan kearifan yang tidak hanya mampu menundukan argumentasi tapi melunakkan jiwa dan meluluhkan rasa, seperti yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah bernama Salman Al Farisi yang menasehati saudaranya bernama Abu Dardak, yang terlalu fokus dengan puasa dan Tahajud sehingga ada hak orang lain dari dirinya yang belum diberikan yakni hak anak dan isterinya terabaikan.
Sementara peduli penuh terhadap keluarga adalah ibadah sosial, yang jauh lebih besar pahalanya dibandingkan dengan ibadah spritual yang ia fokuskan.
Tenggang rasa, Islam berpesan agar setiap muslim dalam segala sikapnya senantiasa mempertimbangkan perasaan orang lain. Segala sikap dan ucapan seorang mukmin harus senantiasa dipengaruhi oleh pertimbangan kemaslahatan dan kebaikan bagi orang lain.
Jangan menyulitkan diri dan jangan menyulitkan orang lain.
Silaturahmi. Menghubungkan tali silaturahmi itu bukanlah mewujudkan tali kasih sayang dengan orang yang siap bersilaturahmi saja. “Silaturrahmi yang sungguh-sungguh, jika kamu siap mewujudkannya terhadap orang yang memusuhi kamu.” (Hr. Bukhari). (IA)