Pertengkaran dalam Rumah Tangga, Ribuan Istri di Aceh Pilih Akhiri Pernikahan
Banda Aceh, Infoaceh.net — Angka perceraian di Aceh terus meningkat dan menyisakan keprihatinan.
Data dari Mahkamah Syar’iyah (MS) Aceh menunjukkan, sepanjang Januari hingga Juni 2025, sebanyak 2.923 pasangan suami istri resmi mengajukan cerai.
Ironisnya, mayoritas berasal dari pihak istri, dengan total 2.311 kasus cerai gugat.
Sementara itu, cerai talak yang diajukan oleh suami tercatat sebanyak 612 perkara.
Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen perceraian dipicu oleh istri yang tidak lagi mampu mempertahankan pernikahannya.
“Dari keseluruhan perkara, cerai gugat mendominasi. Ini mencerminkan ada banyak istri yang merasa tidak bisa lagi bertahan dalam rumah tangga mereka,” ujar Humas MS Aceh, Munir, kepada wartawan, Jumat (1/8/2025).
Menurut Munir, perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi penyebab utama gugatan cerai.
Dari total 2.923 perkara, sebanyak 2.447 disebabkan oleh konflik dalam rumah tangga yang tak kunjung reda.
“Pertengkaran ini bisa karena berbagai hal. Mulai dari masalah ekonomi, kurangnya komunikasi, hingga perilaku suami yang dianggap tidak bertanggung jawab,” katanya.
Munir menambahkan, kasus terbanyak terjadi di Kabupaten Aceh Utara dengan 372 perkara, disusul oleh Aceh Tamiang sebanyak 230 kasus.
Meski bukan penyebab utama, judi online (judol) dan kecanduan TikTok/live streaming turut disebut sebagai faktor pemicu pertengkaran.
“Bisa saja istri merasa diabaikan karena suami sibuk main TikTok atau bahkan bermain judi online. Tapi itu hanya bagian kecil dari masalah yang lebih besar,” jelas Munir.
Istri yang menggugat cerai berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari ibu rumah tangga hingga pegawai negeri sipil. Umumnya, mereka berasal dari kalangan pasangan muda yang baru beberapa tahun menikah.
Munir mengingatkan agar masyarakat tidak menjadikan perceraian sebagai solusi pertama. Menurutnya, Mahkamah Syar’iyah selalu mengedepankan upaya damai dan mediasi dalam setiap proses awal persidangan.
“Banyak yang langsung datang ke pengadilan tanpa menempuh jalur damai di tingkat keluarga atau gampong. Padahal kami di pengadilan selalu mencoba mendamaikan dulu,” ujarnya.