BANDA ACEH – Hidup ini adalah proses dan puncak dari proses hidup adalah meninggal dalam husnul khatimah.
“Karena kunci yang paling penting itu adalah iradah qawiyah, yaitu keiinginan yang kuat untuk melakukan perubahaan diri,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh, Ustadz Dr H Aslam Nur, LLM MA dalam program Serambi Spiritual, Senin (26/4).
Kajian agama dalam program Serambi Spiritual tersebut mengangkat tema “Ramadhan Bulan Melatih Kepekaan Sosial”.
Program Serambi Spiritual diselenggarakan atas kerja sama Radio Serambi FM dengan Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) Aceh.
Rektor Unmuha Aceh mengatakan, bulan Ramadhan menjadi bulan yang paling tepat bagi manusia untuk belajar saling memahami perbedaan, hak-hak orang lain, memberikan sesuatu yang bukan hanya bersifat materi tetapi kebaikan kepada orang lain.
Ustadz Aslam mengutip sebuah hadist “Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu (perkataan/perbuatan yang tidak berfaedah) dan rafats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim).
“Artinya apa, orang yang berpuasa itu adalah orang yang bisa menjaga lisan dan perilakunya dari hal menyakiti orang lain,” katanya.
Inilah yang dikatakan Rektor Unmuha tersebut, manusia jangan hanya melihat kepekaan sosial itu dari aspek memberi materi semata, tetapi yang lebih penting lagi adalah memberi rasa aman kepada seseorang.
Lantas, bagaimana cara kita sebagai umat untuk meningkatkan kepekaan sosial di bulan Ramadhan?
“Puncak dari Ramadhan itu adalah menjadi hamba Allah yang bertaqwa. Artinya, kita harus melalui ibadah-ibadah yang harus dilampaui,” kata Ustadz Aslam.
Oleh karena itu, katanya, dengan mamahami puncak dari Ramadhan kita akan melewati segala sesuatu itu dengan aturan Allah.
Dan salah satu aturan Allah itu adalah bagaimana kita bisa menghargai, menghormati dan menyayangi orang lain.
Ibadah puasa yang tidak sempurna adalah mereka yang tidak peka terhadap tetangga atau lingkungan sekitarnya.
“Beragama itu terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu wujud dari beriman kepada Allah itu terefleksi dalam kehidupan sehari-hari,” kata Ustaz Aslam.
Ia mengatakan, salah satunya adalah aspek sosial. “Jangan sampai seseorang berkata ia beriman kepada Allah, tetapi dengan sesama manusia dia justru tidak mencerminkan keimanannya,” jelas Rektor Unmuha Aceh.
Di akhir kajiannya, Ustadz Aslam mengutip sebuah hadist Rasulullah SAW terkait Ramadhan sebagai bulan melatih kepekaan sosial.
Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling menipu, jangan saling membenci, jangan saling menjauhi dan janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara.”
Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya dan menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya dan kehormatannya atas muslim lainnya.” (HR Muslim).
“Kalau mampu kita menerapkan (hadist) ini di luar Ramadhan, maka inilah makna kepekaan sosial kita berhasil ditemukan di dalam bulan Ramadhan,” ujarnya.
“Mudah-mudahan Ramadhan ini menjadi bulan training bagi kita, salah satu yang dilatih adalah kepekaan sosial,” pungkasnya.