Tetapi setelah peristiwa fathul Mekkah (pembebasan kota Mekkah) pada tahun 8 Hijriah. Nabi mengubah pandangannya itu dengan berkata “la hijrata ba‘da al-fath, wa innama jihadun wa niyatun” (tidak ada lagi hijrah dalam arti berpindah tempat setelah fathul mekkah, yang tersisa hanya jihad dan niat).
Jihad yang dimaksudkan dalam hadits ini bukan kofrontrasi fisik, tetapi perjuangan sepenuh raga untuk menyebarkan Islam.
Sedangkan perjuangan sepenuh jiwa dalam menyebarkan Islam terekspresikan pada kata “niat” dalam hadits itu. Jadi makna, “wa innama jihadun wa niyatun” adalah berjuang untuk menegakkan agama Allah dengan sepenuh jiwa dan raga.
Hijrah dalam makna ini diperankan dengan sangat baik oleh para sahabat. Sepeninggal Nabi, banyak sahabat yang memutuskan pindah ke Syam seperti Bilal bin Rabbah, ke Mesir seperti Abu Darda’ dan ke Kuffah seperti Ali bin Abi Thalib. Saat mereka hijrah, tidak ada lagi dalam pikiran mereka tentang ardhul su’u.
Padahal sebelumnya Kuffah yang terletak dalam wilayah Babilonia (Iraq sekarang) dikategorikan segabai ardhul su’u. Yang menjadi motivasi mereka berhijrah saat itu adalah untuk menyebarkan Islam dengan sepenuh jiwa dan raga.
Ternyata hijrah dalam “makna baru” ini membawa perubahan yang cukup signifikan. Seperti, pertama, menyebarnya ajaran Islam ke wilayah yang sebelumnya memusuhi Islam.
Kedua, berpindahnya pusat peradaban Islam dari wilayah turunya wahyu (Mekkah dan Madinah) ke wilayah pinggiran yang dulunya dianggap tidak prospek sebagai wilayah pengembangan Islam. Sejak itu Kuffah menjadi wilayah sentral Islam.
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan masih banyak lagi ilmuan Islam lahir di Kuffah. Dalam bidang ilmu nahwu dan sharaf (Arabic grammatical) dikenal dua mazhab besar, Kuffah dan Basrah.
Kedua kota itu masih dalam lingkup wilayah Babilonia (Iraq sekarang). Dalam ilmu qira’at, qira’at yang dikembangkan oleh ahli qira’at Kuffah jauh lebih orisinil dan otoritatif dibandingkan qira’at yang dikembangkan oleh ahli qira’at Mekkah.