Oleh: Ustadz Dr. H. Mizaj Iskandar Usman, Lc LL.M*
Dalam literatur tasawuf sifat dan nama Allah selalu dibagi ke dalam dua kategori. Sifat jamāl dan sifat jalāl. Sifat jamāl merupakan representasi dari sifat-sifat feminimitas yang melekat pada Allah, seperti raḥman (pengasih), raḥīm (penyayang), laṭīf (lembut), ghafār (pengampun) dan lain sebagainya.
Sebaliknya sifat jalāl merupakan pengejawantahan dari karakter maskulinitas Allah, seperti sifat mālik (penguasa), jabbār (diktator), dayān (pembalas), muntaqim (pendendam) dan seterusnya.
Perlu dicatat, Allah bukanlah zat yang mengenal gender seperti manusia. Allah bukanlah seorang laki-laki dan juga bukan perempuan. Ayat-ayat seperti laisa kamitslihi syai’un (tiada serupa dengan-Nya) dan lam yakun lahu kufuwan aḥad (tiada sebanding dengan-Nya) cukup tegas melarang kita punya pikiran mujassimah (Anthropomorphism).
Namun kategori ini dibutuhkan dalam rangka memudahkan penjelasan karakter dari masing-masing sifat Allah.
Mulai ayat pertama hingga ayat ketiga surat al-Fātiḥah, Allah memperkenalkan sifat jamāl yang sangat dominan dalam diri-Nya. Pada ayat pertama, dalam basmalah terdapat dua penyebutan sifat jamāl, yaitu al-raḥman dan al-raḥīm yang diulang kembali pada ayat ketiga. Pada awal ayat kedua, Allah memperkenalkan dirinya sebagai zat yang senang dipuji, tercermin dari penggunaan kata taḥmīd.
Sehari-hari, perempuan (feminim) tentu lebih senang dipuji dari pada laki-laki (maskulin). Sedangkan pada akhir ayat kedua, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai rabbul ‘ālamīn, pencipta, pelindung, pengayom semesta alam. Sifat-sifat yang identik dengan feminimitas.
Abū Ṭālib al-Makkī dalam kitab Qūtul Qulūb menjelaskan bahwa ekspresi feminimitas pada awal surat al-Fātiḥah menyiratkan hubungan persuasif antara Allah dengan manusia dalam kehidupan dunia. Apa pun kesalahan dan dosa yang diperbuat manusia, selama hayat masih dikandung badan, pasti diampuni jika manusia itu bertaubat.
Sebaliknya ekspresi maskulinitas Allah pada ayat keempat dan seterusnya menunjukkan hubungan rigid antara Allah dengan manusia dalam kehidupan akhirat. Sebesar apapun penyesalan manusia tiada gunanya. Saat itu Allah memposisikan dirinya sebagai zat yang didominasi dengan sifat jalāl seperti muntaqim, dayān dan seterusnya. Ini seperti yang digambarkan sendiri oleh Allah dalam Surat al-Mu’minūn ayat 99-100.