Dalam konteks ini, Tafsir Jalālain menjelaskan kenapa kuasa Allah secara spesifik disebutkan di hari kiamat, “wa khuṣṣa bil dzikri li’annahu lā mulka ẓāhirān fīhi li aḥadin illā al-Allāh ta‘ālā bidalīlin, limanil mulkul yaum?, qāla, lillah” (dan kekuasaan Allah secara khusus disebut di akhirat dikarenakan pada hari itu tiada yang berkuasa melainkan Allah sebagiamana yang dijelaskan dalam dialog antara Allah dengan manusia dalam surat Al-Ghāfir ayat 16, “siapakah yang berkuasa hari ini? Manusia menjawab, Allah).
Ibnu Katsir dalam Tafsīr al-Qur’ānil ‘Aẓīm juga menjelaskan hal yang sama. Menurutnya frasa “māliki yaumiddīn” tidak menafikan kekuasaan Allah di dunia. Karena Allah telah mengawalinya dengan frasa “rabbil ‘ālamīn” pada ayat kedua surat Al-Fātiḥah. Frasa ini menegaskan Allah sebagai Penguasa alam semesta di dunia dan akhirat.
Penjelasan di atas dipertegas lagi dengan firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 58 “wa rabbuka al-ghafūr dzū al-raḥmah, law yu’akhidzuhum bimā kasabū la‘ajjala lahumul ‘azāb, bal lahum maw‘idun lan yajidū mindunihi maw‘ilā (Dan Tuhanmulah Maha Pengampun dan Pemangku Rahmat, jika Allah hendak mengazab seseorang karena perbuatannya, tentu Allah akan menyegerakan azab untuk orang tersebut di dunia. Tetapi Allah menanguhkan azab bagi mereka sampai tibanya hari kiamat).
Sultanya para ulama, Syaikh ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām menjelaskan dalam kitabnya Syajaratul Ma‘ārif bahwa meskipun terdapat anjuran dalam hadis untuk berkarakter yang sama dengan karakternya Allah (takhalaqū bi akhlāqillāh), namun terdapat sifat-sifat Allah tertentu yang mustahil atau bahkan terlarang disandang oleh manusia.
Seperti sifat qidām (tak berawal), baqā’ (kekal), kibr (angkuh) dan lain sebagainya. Hal ini menjelaskan kepada kita mengapa Nabi ditegur Allah saat mengutuk orang-orang yang memeranginya.
Diceritakan dalam Sunan al-Tirmidzī, saat berakhirnya perang Uhud. Keadaan Nabi sangat mengenaskan. Anas bin Mālik, sahabat yang ikut serta dalam barisan perang Uhud, mengilustrasikan bagaimana keadaan Nabi saat itu dengan berkata “rahang mukanya retak (syujja fī wajhihi), pelipisnya terluka (kusirat rabā‘iyyatuhu) dan bahunya terkena panah (wa rumiya ramyatan ‘alā katifi). Sembari mengusap wajahnya yang berlumur darah Nabi berkata, “kaifa tuflihu ummatun fa‘alū hadzā bi nabiyyihim wa huwa yad‘ūhum ilā Allāh (Bagaimana mungkin suatu kaum akan beruntung sedang mereka memperlakukan Nabi mereka seperti ini, padahal ia menyeru mereka ke jalan Allah).