“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian…” (QS. Al-Hajj: 37)
“Yang Allah nilai bukanlah materi, tetapi niat, keikhlasan, dan ketakwaan. Ibadah qurban bentuk latihan mengikis sifat riya’ dan memurnikan niat dalam beramal,” ungkapnya.
Tgk Rusli Daud melanjutkan, bahqa qurban menumbuhkan kepedulian sosial. Pembagian daging qurban kepada fakir miskin mengajarkan bahwa ibadah bukan hanya untuk Allah semata, tapi juga harus berdampak sosial. Dari sini tumbuh empati, solidaritas, dan semangat berbagi.
Mayoritas ulama menyatakan, daging qurban dibagi menjadi tiga, sepertiga disedekahkan, sepertiga dihadiahkan, dan sepertiga untuk dikonsumsi sendiri. Sebagian ulama menyebut pembagian ini fleksibel, bahkan jika seluruh daging disedekahkan, hal itu dibolehkan.
Dari Ali bin Abi Thalib diriwayatkan: “Rasulullah ﷺ memerintahkanku untuk mengurus unta-unta qurban. Beliau memerintahkan agar seluruh daging, kulit, dan perlengkapannya disedekahkan kepada kaum miskin.”
Tgk Rusli Daud mengungkapkan, nilai-nilai qurban tidak boleh berhenti pada ritual tahunan. Harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti peduli terhadap sesama, khususnya mereka yang kekurangan. Ikhlas dalam berbagi dan tidak pamrih dalam membantu.
“Nilai-nilai qurban kita wujudkan dan bentuk bersyukur atas segala nikmat dan selalu ingat kepada Sang Pemberi nikmat. Siap berkorban demi kebaikan bersama, baik dalam bentuk waktu, tenaga, maupun harta. Sabar dan tabah dalam menghadapi rintangan dalam kebaikan,” pungkas Penyuluh Agama Islam Kemenag ini. (Sayed M. Husen)