Dalam ragam statemen Rasulullah SAW selalu memotivasi masyarakatnya, khususnya mereka yang under privilege, agar membangun self confidence (atau percaya diri) itu. Misalnya kepada mereka yang miskin, Rasulullah SAW mendaklarasikan diri sebagai bagian dari mereka.
Doa yang beliau sampaikan “Allahumma uhsyurni fii zumratil masaakin” (Ya Allah masukkan saya ke dalam golongan orang-orang miskin) bukan dimaksudkan keinginan untuk memiskinkan umatnya. Justeru sebaliknya untuk membangun percaya diri mereka bahwa mereka yabg miskin itu bukan diabaikan apalagi dipandang sebelah mata.
Dalam sebuah hadits yang lain beliau mengingatkan: “Ahibbul masaakin. Innamaa nushirtum bil masaakiin” (Cintailah orang-orang miskin. Karena sesungguhnya kalian ditolong oleh Allah karena orang-orang miskin itu).
Ini juga merupakan indikasi jelas bagaimana beliau membangun semangat percaya diri kepada mereka yang seringkali “under estimated” (dipandang enteng) dalam masyarakat.
Di sini kita lihat bahwa peradaban yang kuat itu terbangun di atas semangat “percaya diri” yang solid. Sebuah bangsa atau kaum yang tidak percaya diri tidak akan bisa membangun peradaban. Inferioritas atau perasaan minder hanya akan menjadi beban, dan bahkan menjadi penyebab kelemahan dan keterbelangan.
Perhatikan mayoritas dunia Islam saat ini. Hampir keseluruhan dunia Islam itu berada pada posisi “menguntungkan” secara sumber daya alam. Dari pertanian, kehutanan, hingga kelautan (kekayaan bahari) dimiliki oleh dunia Islam. Bahkan negara-negara gersang sekalipun diberikan sumber-sumber kekayaan alam lainnya, termasuk kekayaan pertambangan minyak dan gas misalnya.
Tapi kenapa umat ini masih tertinggal jauh? Salah satu faktornya adalah kejiwaan yang selalu tergantung kepada bangsa lain. Ketergantungan ini jelas disebabkan oleh hilangnya “self confidence” itu. Akibatnya kekayaan negara-negara Islam itu kerap jadi santapan empuk, bagaikan sepotong daging yang diperebutkan anjing-anjing lapar nan buas.
Yang runyam kadang sebuah bangsa muslim kemudian kehilangan percaya diri, justru dimainkan bagaikan boneka di tangan orang lain. Salah satu permainan itu adalah “devide et impera” di antara mereka.