20 Tahun MoU Helsinki: Wilayah Aceh Masih Dicaplok Sumut
Banda Aceh, Infoaceh.net – Dua dekade telah berlalu sejak Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005.
Namun, sebagian masyarakat Aceh mempertanyakan sejauh mana implementasi kesepakatan tersebut, terutama menyangkut batas wilayah dan substansi dari butir-butir MoU yang dijanjikan.
Salah satu poin yang terus menjadi sorotan adalah ketentuan mengenai wilayah Aceh.
Dalam MoU Helsinki, disebutkan bahwa wilayah Aceh mengacu pada batas peta provinsi Aceh per 1 Juli 1956.
Berdasarkan sejumlah referensi sejarah, batas tersebut diyakini mencakup hingga kawasan Tanjung Pura yang kini masuk wilayah administratif Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut).
Namun hingga kini, belum ada langkah konkret dari Pemerintah Pusat untuk menyesuaikan batas wilayah Aceh sesuai peta tersebut.
Terbaru adalah pencaplokan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil yang kemudian masuk ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumut berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025
Keempat pulau itu yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Mangkir Gadang.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan dan bahkan kekecewaan di tengah masyarakat Aceh, yang merasa bahwa banyak poin dalam MoU hanya terealisasi secara kosmetik.
“Yang terlihat hanya pergantian nama-nama lembaga saja. Seperti DPRD menjadi DPRA, DPRD kabupaten/kota menjadi DPRK, KPU menjadi KIP, dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi Pemerintah Aceh. Tapi substansi dari perjanjian belum dirasakan masyarakat secara utuh,” ujar Marjoni Abdul Thaleb, seorang aktivis sipil di Banda Aceh, Sabtu (14/6/2025).
Padahal, MoU Helsinki menjadi tonggak penting bagi perdamaian Aceh setelah konflik bersenjata berkepanjangan.
Kesepakatan tersebut mencakup pengakuan atas kekhususan Aceh, otonomi luas, pembentukan partai lokal, pengelolaan sumber daya alam, dan pengakuan terhadap sistem hukum adat.
Sayangnya, implementasi dari berbagai butir itu dinilai berjalan lambat dan setengah hati. Sejumlah kebijakan yang seharusnya berpihak pada kekhususan Aceh justru kerap dihadapkan pada regulasi nasional yang mengekang.
Dengan menjelang usia 20 tahun MoU Helsinki pada 2025 mendatang, muncul desakan agar pemerintah pusat dan daerah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan butir-butir MoU.
Masyarakat Aceh berharap agar kesepakatan yang telah membawa perdamaian itu tidak hanya menjadi simbol, tetapi benar-benar menjadi landasan keadilan dan kedaulatan daerah yang dijanjikan dalam perundingan Helsinki.
“Perdamaian sejati tidak hanya diukur dari tidak terdengarnya lagi suara senjata, tetapi juga dari tegaknya keadilan atas semua perjanjian yang telah disepakati bersama,” pungkas Marjoni yang juga mantan Ketua Umum PW Pelajar Islam Indonesia (PII) Aceh.