Syakya Meirizal selaku juru bicara penggugat menjelaskan, para penggugat menyatakan telah dirugikan haknya dan dipermalukan sebagai rakyat Aceh atas kebijakan pemasangan stickering BBM tersebut.
Hal ini pula, diantaranya, yang dinilai para penggugat telah merugikan mereka sebagai warga negara. “Perbuatan melabelisasi/stickering terhadap kendaraan sangat merugikan kami selaku masyarakat Aceh dan warga negara Indonesia, di mana kami tidak dapat melakukan pengisian BBM jenis premium dikarenakan kami tidak memasang stiker tersebut,” bunyi salah satu poin dari gugatan tersebut.
Disebutkannya, dalam stiker tersebut juga mengandung kalimat yang menghina rakyat Aceh. Dari segi sosial sangat mencerminkan kalimat yang memalukan, tidak etis, memojokkan dan merendahkan martabat masyarakat Aceh.
“Karena itu kita ajukan gugatan class action ini, dimana salah satu poin gugatan kami meminta Pemerintah Aceh membayar ganti rugi immateril kepada rakyat Aceh senilai Rp 1 triliun,” ungkapnya.
Syakya Meirizal juga menyorot perubahan sifat surat edaran dari sekadar imbauan menjadi aturan di lapangan. Saat ini, kalau tidak ada stiker tidak boleh isi BBM bersubsidi.
Penerbitan surat edaran stiker BBM bersubsidi tersebut juga telah melampaui kewenangan Plt. Gubernur Aceh.
Seperti ada poin yang menyatakan kendaraan yang berhak menggunakan BBM bersubsidi adalah kendaraan yang telah melunasi pajak. Padahal tentang ini seperti diketahui telah diatur sendiri dalam undang-undang.
“Surat edaran tersebut bukanlah produk peraturan perundang-undangan atau hanya bersifat himbauan, namun dalam praktiknya di lapangan telah menjadi aturan. Kalau tidak ada stiker, tidak akan diisi BBM bersubsidi. Ini kan telah merugikan hak konsumen,” tegasnya.
Dalam gugatan tersebut, pihaknya menggugat gubernur Aceh, PT Pertamina dan Hiswana Migas Aceh untuk membayar kerugian immateriil sebesar Rp 1 triliun.
“Kami juga memohon kepada majelis hakim menghukum para penggugat membayar kerugian immateriil kepada masyarakat Aceh,” pungkasnya. (IA)