“Simpan untuk mengalirkan uang. Bukan cuman menumpuk uang,”jelas narator.
Misalnya, keuntungan dari toko kecil dipakai bukan untuk belanja konsumtif, tapi menambah stok, membeli kulkas, hingga membuka cabang baru.
Hasilnya, arus kas terus mengalir tanpa harus kerja mati-matian.
3. Utang sebagai Alat, Bukan Beban
Banyak orang takut utang, tapi orang Tionghoa melihat utang sebagai kendaraan percepatan—asal digunakan dengan benar.
“Kalau utang itu bisa membayar dirinya sendiri, maka itu alat. Kalau utang itu bikin lu harus kerja lebih keras untuk bayar, maka itu jebakan,”ujar narator.
Utang konsumtif seperti cicilan gadget hanya jadi beban. Tapi utang produktif, misalnya beli ruko strategis yang cicilannya tertutup oleh uang sewa, bisa berubah menjadi aset bernilai miliaran dalam beberapa tahun.
4. Hidup Sederhana Meski Penghasilan Naik
Kesalahan banyak orang adalah menaikkan gaya hidup seiring naiknya gaji. Orang Tionghoa justru menahan diri: penghasilan ekstra dipakai mempercepat pertumbuhan aset.
“Bukan berarti enggak mampu pindah rumah, tapi dia tahu kalau uang ekstra itu bisa dipakai buat beli ruko sendiri sehingga dia enggak perlu bayar sewa lagi di masa depan,”jelas narator.
Mereka lebih memilih menunda kesenangan sekarang demi kebebasan finansial di masa depan.
5. Literasi Keuangan Sejak Kecil
Perbedaan besar lainnya ada di pendidikan. Literasi finansial diajarkan sejak anak-anak, bukan menunggu dewasa.
“Buat mereka ngajarin anak, cara menghitung kembalian aja belum cukup. Yang penting adalah membentuk mindset tentang uang sejak anak belum dewasa,”jelas narator.
Anak-anak diajari menyisihkan uang jajan, bahkan diberi kesempatan mengelola etalase kecil di toko keluarga agar mereka paham konsep untung-rugi sejak dini.
6. Jaringan dan Kerja Sama
Banyak usaha Tionghoa tumbuh cepat karena mengandalkan ekosistem bisnis yang saling menguatkan.
“Dengan cara ini, peluang yang sebelumnya kelihatan terlalu besar untuk satu orang jadi terbuka lebar karena kekuatan kolektif,”ungkap narator.