“Pada pengesahan APBK Tahun 2022, telah disahkan pendapatan dan belanja pemko Banda Aceh tahun ini yakni Pendapatan Daerah direncanakan sebesar Rp 1.374.271.730.417. Jadi sudah berimbang antara proyeksi pendapatan dan belanja, tinggal lagi bagaimana proyeksi pendapatan dapat dioptimalkan sehingga belanja daerah dapat terpenuhi.
Hal yang sangat memprihatinkan, hingga saat ini rakyat belum melihat langkah kongkrit yang dilakukan Pj Wali Kota untuk memaksimalkan PAD Banda Aceh”.
“Kondisi saat ini sudah kembali normal pasca pandemi covid, sumber-sumber PAD seperti restoran-restoran, objek wisata, hotel, pasar dan sebagainya sudah kembali beraktivitas sebagaimana sediakala hingga untuk PAD dapat dioptimalkan,” ujarnya.
Dia menjelasakan, jika pada masa dilanda pandemi tahun 2021, PAD hanya terealisasi sebesar 66,61% atau sebesar Rp 222.286.302.902, dari target Rp 327.189.757.553. Artinya PAD sebesar Rp 109.248.660.047 atau sebesar 33,39% tidak terealisasi.
Kenapa tidak ketika kondisi normal PAD dapat direalisasikan di atas 95% atau bahkan sah-sah saja jika pemerintahnya kreatif dan solutif PAD-nya lebih dari 100% dari target yang ditetapkan.
“Dengan kondisi yang mulai normal, seharusnya jika Pj Walikota memang jeli maka langkah yang dilakukan adalah melakukan tracking sumber-sumber PAD, sehingga potensi-potensi PAD tersebut dimaksimalkan.
Disamping itu juga semestinya bisa diaudit potensi-potensi PAD yang belum optimal, apakah ada kebocoran sehingga harus dilakukan langkah-langkah strategis untuk meminimalisirnya, sayangnya tak terlihat jelas seperti apa langkah kongkrit dan berapa besar capaian PAD yang berhasil dilakukan,” sebutnya.
Dia juga menyebutkan, persoalan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) ASN yang belum dibayarkan, semestinya dapat dilakukan penyesuaian nominalnya sebagai langkah efesiensi.
“Jadi, TPP ini bukan sesuatu yang wajib dan baku nominalnya. Sehingga jumlahnya bisa disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah, bahkan sah-sah saja jika TPP ditiadakan, namun tentunya bukan hal itu yang diharapkan. Apalagi, jika TPP terlalu tinggi dan tidak lagi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional. Hal ini harus disesuaikan demi efisiensi, bukan malah ngotot untuk memangkas program kerakyatan dan pembangunan,” jelasnya. (IA)