Studi dari LIPI (kini BRIN) pada 2021 mencatat bahwa 42 persen dari terumbu karang di sekitar Pulau Kri dan Pianemo mulai menunjukkan tanda-tanda degradasi akibat kontak manusia, pembuangan limbah, dan pemutihan (bleaching) akibat perubahan suhu laut.
Pemutihan karang ini bisa diperparah oleh lalu lintas kapal yang tinggi serta buangan limbah organik dan plastik dari aktivitas wisata yang tidak terkontrol.
Peraturan dan Perlindungan: Banyak, Tapi Tak Efektif
Raja Ampat memang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut sejak 2007 dengan pembentukan tujuh kawasan konservasi perairan (Marine Protected Areas/MPA). Namun, seperti banyak cerita konservasi lainnya di Indonesia, aturan yang baik sering kali tidak diiringi dengan pengawasan yang efektif.
Kajian dari World Resources Institute (WRI) tahun 2022 menggarisbawahi bahwa kawasan konservasi Raja Ampat menderita dari minimnya kapasitas pengelolaan, termasuk kekurangan personel lapangan, keterbatasan anggaran, dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran seperti penangkapan ikan ilegal atau penggunaan bahan peledak.
Selain itu, tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan sektor swasta membuat sistem pengelolaan kawasan menjadi tak sinkron. Alih-alih kolaboratif, pendekatan pengelolaan justru sering menjadi ajang tarik-menarik kepentingan sektoral.
Peran Masyarakat Lokal: Penjaga Terakhir
Masyarakat adat di Raja Ampat, seperti suku Maya, sebetulnya memiliki tradisi kearifan lokal dalam menjaga alam, seperti sistem sasi yaitu larangan mengambil hasil laut pada musim tertentu untuk menjaga kelestarian.
Namun, nilai-nilai ini mulai tergerus oleh gempuran gaya hidup modern, godaan ekonomi, dan ketidakterlibatan aktif mereka dalam proses perencanaan pembangunan pariwisata maupun tata ruang.
Sebuah riset dari Universitas Papua menyebutkan bahwa masyarakat lokal merasa semakin terpinggirkan dalam keputusan pembangunan. Banyak dari mereka yang menjadi penonton di rumah sendiri, dengan hasil ekonomi pariwisata lebih banyak dinikmati oleh investor luar. Ini bukan hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tapi juga memutus ikatan emosional masyarakat terhadap lingkungannya.