“Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pemisahan ini menimbulkan tantangan baru,” tutur Jeirry.
Pertama, lanjut dia, dari segi anggaran, yakni dua kali pemilu besar dalam satu siklus lima tahun berarti biaya dua kali lipat. Negara harus menanggung ongkos logistik, distribusi, pengamanan, dan honor petugas dua kali. Hal ini berpotensi menjadi beban fiskal yang berat, apalagi jika tidak disertai efisiensi.
Kedua, yaitu masyarakat akan dihadapkan pada intensitas Politik yang makin tinggi. Frekuensi ke TPS bertambah. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menimbulkan kejenuhan atau apatisme politik. Partisipasi pemilih bisa menurun karena merasa bosan atau tidak melihat perubahan nyata dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
Sedangkan ketiga, potensi munculnya politisi “lompat panggung” makin besar. Karena waktu pemilu berbeda, mereka yang gagal di pemilu nasional bisa langsung mencalonkan di pilkada atau sebaliknya.
“Politik jadi ajang coba-coba, bukan lagi soal pengabdian. Demokrasi bisa terjebak pada pola pikir jangka pendek dan kepentingan elektoral belaka.Lalu, apakah putusan ini baik bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi kita? Jawabannya, bisa iya dan bisa tidak” kata Jeirry.
Artinya, sambung dia, jika dikelola dengan benar, putusan ini bisa menjadi peluang besar untuk memperbaiki kualitas demokrasi elektoral. Masyarakat bisa lebih jernih menilai calon pemimpin. Proses pemilu lebih tertib dan fokus. Tokoh-tokoh lokal punya ruang lebih luas untuk tampil.
Namun sebaliknya, tanpa kesiapan yang matang dari sisi regulasi, penyelenggaraan, edukasi publik, partisipasi rakyat, hingga anggaran, putusan ini justru bisa menimbulkan beban baru. Yang tadinya ingin menyederhanakan, bisa-bisa malah makin merepotkan.
Karena itu, ia menegaskan, tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil bisa segera beradaptasi. Regulasi harus segera direvisi dan momentumnya pas, sebab revisi UU Pemilu sedang bergulir di DPR. “Dan yang paling penting, masyarakat harus dilibatkan secara aktif dan diberi pemahaman agar tidak cuek dan apatis dalam berpartisipasi,” tegas Jeirry.