Amrizal menjelaskan, bantuan hukum litigasi bagi fakir miskin yang diberikan Pemerintah Aceh ini berbeda dengan bantuan hukum pada daerah lainnya.
Karena di Aceh berlaku syariat Islam, maka bantuan hukum litigasi selain perkara pidana, perdata, TUN, juga terhadap perkara jinayat, muamalah dan munaqahat.
“Sebagaimana tahun sebelumnya, kebanyakan pengajuannya perkara pidana, selain perdata dan TUN dari tingkat pertama, banding dan kasasi. Terhadap perkara pidana dan jinayat, diberikan bagi yang sudah berstatus tersangka, terdakwa atau terpidana. Pelaksanaannya dilakukan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, yang akan didampingi LBH dan dananya diberikan oleh Pemerintah Aceh melalui Biro Hukum,” jelas Amrizal.
Sementara itu, terhadap perkara perdata, muamalah dan munaqahat, perkara itu akan diberi bantuan hukum atau didampingi oleh LBH, yang berstatus sebagai penggugat/pemohon atau tergugat/termohon.
“Bagi masyarakat miskin dan LBH atau organisasi kemasyarakatan pemberi bantuan hukum, yang melayani bantuan hukum tersebut, jika sudah memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan perundang-undangan, dapat mengajukan kepada Pemerintah Aceh melalui Biro Hukum,” sambung Amrizal.
Amrizal menjelaskan, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk pemohon bantuan hukum masyarakat fakir-miskin, antara lain mengajukan permohonan kepada pemberi bantuan hukum, yaitu LBH, dengan melampirkan KTP atau dokumen lain yang sah, surat keterangan miskin dari keuchik sesuai domisili, dokumen berkenaan dengan perkara dan surat kuasa.
“Sedangkan, untuk pemberi bantuan hukum, dalam hal perkara litigasi, syarat yang harus dipenuhi sudah diakreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu, wajib memberitahukan atau mengajukan permohonan bantuan kepada Pemerintah Aceh melalui Biro Hukum, sebelum memberikan bantuan hukum, dengan melampirkan identitas pemberi dan penerima bantuan hukum,” pungkas Amrizal J Prang. (IA)