JAKARTA – Tim MoU Helsinki yang dibentuk oleh Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haythar menyampaikan ke Dubes Uni Eropa tentang pentingnya upaya percepatan implementasi seluruh butir perjanjian damai antara Pemerintah RI dengan GAM, dan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasalnya, usia perdamaian Aceh hampir 17 tahun.
Kabag Humas dan Kerja Sama Wali Nanggroe M Nasir Syamaun menyebutkan, hal itu disampaikan Tim MoU Helsinki saat pertemuan dengan Duta Besar (Dubes) Uni Eropa Vincent Piket, di Jakarta, Rabu pekan lalu.
“Dari Aceh hadir langsung Wali Nanggroe bersama Tim MoU Helsinki. Sementara Dubes Uni Eropa didampingi Laura Beke selaku Penasihat Politik Kedubes Uni Eropa,” kata M Nasir Syamaun, Rabu (23/3).
Pada pertemuan kesekian kali dengan Dubes Uni Eropa, Wali Nanggroe menyampaikan pihaknya akan terus mengupayakan berbagai langkah agar MoU Helsinki dan UUPA dapat segera diimplementasikan secara menyeluruh.
“Masih ada banyak yang belum dipenuhi oleh Pemerintah,” kata Wali Nanggroe.
Selaku pihak yang terlibat langsung menengahi konflik Aceh dengan Pemerintah Indonesia, hingga lahirnya MoU Helsinki di Finlandia 2005 silam, Wali Nanggroe meminta dukungan penuh dari Uni Eropa agar kesepahaman-kesepahaman yang belum diimplementasikan dapat segera dipenuhi oleh Pemerintah.
“Termasuk terpenting dukungan dari Uni Eropa dalam upaya pembangunan lewat investasi-investasi di berbagai bidang,” kata Wali Nanggroe.
Ketua Tim MoU Helsinki Kamaruddin Abubakar atau Abu Razak menyampaikan perkembangan terkini implementasi MoU Helsinki dan UUPA. “Ada yang belum maksimal (implementasinya), bahkan ada yang belum terimplementasi sama sekali,” kata Abu Razak yang juga Wakil Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA).
Abu Razak menambahkan tim yang dipimpinya akan terus menempuh berbagai upaya untuk percepatan implementasi perjanjian damai Aceh. “Sudah 17 tahun usia perdamaian Aceh. Tahun ini harus sudah ada kemajuan,” kata Abu Razak.
Menurut Abu Razak, implementasi hasil perjanjian damai Aceh merupakan tanggung jawab semua pihak, baik dari Aceh, Pemerintah Indonesia, dan pihak-pihak yang terlibat pada proses perundingan hingga penandatanganan MoU Helsinki.