BANDA ACEH — Para buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Aceh, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK), dan Aliansi Buruh Aceh (ABA), melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Selasa (20/9/2022).
Mereka ditemui oleh Ketua Komisi V DPRA M Rizal Falevi Kirani dan Kepala Dinas Tenaga kerja dan mobilitas penduduk (Disnakermobduk) Aceh Akmil Husen.
Aksi njuk rasa kali ini masih menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga pembayaran upah bagi buruh.
Dalam aksi itu mereka meminta kenaikan upah minimum sebesar 15 persen.
Ketua DPW FSPMI Aceh Habibi Inseun meminta agar pemerintah dapat menaikkan upah para buruh, meskipun sebelumnya ada kenaikan dari pemerintah, namun itu dinilai belum cukup karena hanya dinaikkan seribu lebih.
“Kita meminta dinaikkan, memang ada dinaikkan cuman hanya seribu lebih,” kata Habibi.
Selain itu, masa buruh juga meminta agar DPRA dapat merevisi Qanun Nomor 7 tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan.
“Karena ini menyangkut kesejahteraan, perlindungan dan kepatuhan hukum,” sebutnya.
Habibi Inseun meminta eksekutif dan legislatif memperhatikan nasib buruh Aceh. Sebab imbas kenaikan BBM sangat berpengaruh terhadap perekonomian.
Sehingga Pemerintah Aceh perlu menaikkan Upah Minimum Pekerja (UMP), sebesar 15 persen. “Memiliki upah yang layak atau dapat mencukupi kebutuhan hidup,” kata Habibi.
Menurut Habibi, kondisi tersebut akan dapat terwujud apabila dibarengi dengan kebijakan dan regulasi yang adil dari pemerintah. Sayangnya, kesusahan masyarakat tak dipedulikan oleh pemerintah. “Kebijakan dan regulasi justru membuat buruh semakin menderita,” kata dia.
Habibi menjelaskan, kenaikan BBM sangat berdampak terhadap perekonomian. Sebab kondisi saat ini belum pulih dari pandemi Covid-19.
Selain itu, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law beserta aturan turunannya juga berdampak buruk bagi buruh. Salah satunya, PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.