Maka, menurut Dahlan, selama 15 tahun terakhir, yang tersisa dari Otsus Aceh hanya dana Otsus dan syari’at Islam. Karena itu, bagi Dahlan, revisi UUPA menjadi keharusan.
“Secara substansi juga sungguh sangat jauh dari kehendak politik MoU Helsinki,” tegas politisi Partai Aceh ini.
Sementara Dekan FISIP UIN Ar-Raniry Dr Muji Mulia MAg mengatakan, UUPA saat ini harus menjadi kajian serius seluruh masyarakat Aceh.
Terutama setelah berkurangnya dana otonomi khusus Aceh, yaitu 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional menjadi 1 persen mulai tahun 2023 nantinya.
Menurut Muji, UUPA sejatinya adalah modal untuk memakmurkan Aceh, tetapi setelah lebih dari satu dekade, masyarakat Aceh masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Terbukti, meski status Aceh self government, kemiskinan pernah mencapai angka 15,53 persen, meski kini turun menjadi 14,64 persen selama peiode September 2021-Maret 2022.
Di atas rata-rata angka kemiskinan nasional, yaitu 9,54 persen. Mutu pendidikan Aceh juga berada diurutan 25 dari 34 provinsi di Indonesia.
“Untuk itu diperlukan lompatan pemikiran dan implementasi program agar dapat merubah nasib Aceh secara bersama-sama,” kata Muji.
Shaummil Hadi SSos MA, Dosen FISIP Universitas Al-Muslim mengatakan, DPRA bersama seluruh stakeholder di Aceh harus memperjelas hal mana yang dibatasi dan yang diberikan. “Mengubah undang-undang tentu bukan hal yang mudah,” ujarnya.
Disisi lain, Muazzinah MPA, akademisi pada FISIP UIN Ar-Raniry mengatakan, Aceh dengan UUPA adalah daerah istimewa di Indonesia jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.
“Di Aceh bahkan terdapat partai lokal, tetapi ternyata belum berhasil menampung aspirasi politik masyarakat lokal. Tidak ada hal-hal signifikan yang berhasil dicapai. Masyarakat tetap saja miskin,” ujarnya.
Muazzinah juga menyinggung soal kewajiban menggunakan bahasa Aceh dalam UUPA, sebagai bahasa pengantar dalam pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. “Pertanyaannya adalah berapa persen sekolah yang menerapkannya,” tanya dia.