Di dalam kelompok pengungsi yang terkatung-katung di depan kantor Bupati tersebut terdapat 33 anak-anak dan 19 perempuan dewasa. Dalam review Universal Periodic Review di PBB awal November lalu, tak sedikit negara-negara yang mengingatkan Indonesia terkait hal
ini.
Hal ini cukup miris mengingat nilai-nilai warga belum dicerminkan oleh tindakan pemerintah.
Indonesia yang menjadi tuan rumah G-20 di Bali 15-16 November lalu, bahkan turut serta menyampaikan Deklarasi Pimpinan G-20, dimana pada poin nomor 40 disebutkan bahwa Indonesia turut berkomitmen dalam mendukung inklusi pengungsi, termasuk dalam upaya
pemulihan dan memastikan hak asasi manusia pengungsi apapun kondisi keimigrasiannya.
Dukungan ini juga termasuk dalam upaya merespon kebutuhan kemanusiaan dan akar masalah kepengungsian. Setelah ini, Indonesia bahkan akan menjadi Ketua ASEAN.
Pengungsi Rohingya tak akan meninggalkan Myanmar, jika kondisi di sana memberikan mereka martabat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi kepengungsian di Bangladesh pun juga semakin memprihatinkan, yang akhirnya membuat pengungsi Rohingya terpaksa mengambil jalan melalui penyelundup manusia yang semakin membuat mereka rentan.
Kesadaran yang sangat terbatas mengenai hal ini, tak kunjung disadari, dan semakin membuat pengungsi terombang-ambing. Permasalahan mendasar terkait pengungsi dan diplomasi Indonesia semakin dikerdilkan dengan rasa buruk sangka, narasi lempar melempar tanggung jawab dan hitung-hitungan keuntungan yang didapat dalam menangani pengungsi.
Menanggapi situasi yang sangat memprihatinkan dan darurat, Jaringan Masyarakat Sipil mendesak tanggung jawab Pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan dan menghormati Perpres 125 tahun 2016 dengan berkoordinasi dengan pemerintah
daerah, khususnya Pemkab Aceh Utara, Aceh Timur, dan Pemko Lhokseumawe, Pemko Langsa serta berbagai pihak untuk segera mengambil keputusan terkait penyediaan tempat yang layak bagi pengungsi di depan kantor Bupati Aceh Utara termasuk mekanisme pendanaannya.