Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu biodiversity hotspot dunia, kini mengalami degradasi lingkungan yang mengancam keunikan ekosistemnya.
Menurut laporan Channel News Asia (5 Juni 2025), sedimentasi akibat aktivitas tambang bahkan menjalar hingga perairan destinasi wisata seperti Pulau Piaynemo.
Warga adat suku Maya, pemilik hak ulayat atas Pulau Gag dan Kawe, mengaku tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Banyak nelayan mengeluh hasil tangkapan menurun hingga 70% dalam dua tahun terakhir.
Aktivis lokal menyebut ini sebagai “pengusiran diam-diam” dari tanah adat.
“Kami tidak pernah menjual tanah kami. Tapi tambang masuk begitu saja,” ujar Yohanis, warga adat Kawe.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) telah melakukan inspeksi dan menemukan bahwa, perusahaan tambang beroperasi tanpa AMDAL yang sah.
Aktivitas terjadi di zona pulau kecil, yang dilindungi UU No. 1 Tahun 2014.
Bahkan itu juga memaksa Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk menyetop sementara operasional perusahaan dan sedang melakukan evaluasi menyeluruh.
Kehadiran armada kapal dengan nama keluarga Jokowi menimbulkan pertanyaan publik.
Apakah kapal-kapal tersebut dimiliki atau dikendalikan oleh keluarga Jokowi?
Apakah ada konflik kepentingan antara kebijakan negara dan kepentingan pribadi/keluarga?
Apakah proyek hilirisasi dijadikan tameng untuk eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan elite?
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari pihak Jokowi mengenai keterkaitan langsung dengan armada kapal tersebut.
Slogan hilirisasi nikel yang digadang-gadang sebagai langkah menuju ekonomi hijau dan kemandirian justru dibayangi praktik yang bertolak belakang.
Raja Ampat, surga dunia, kini menjadi korban ambisi industri dan hilirisasi yang tak terkontrol.
Energi hijau tidak boleh mengorbankan lingkungan.
Hilirisasi harus mengedepankan keberlanjutan dan keadilan sosial.
Kepentingan keluarga elite tidak boleh bersinggungan dengan mandat negara.
Apakah hilirisasi benar-benar untuk rakyat, atau hanya alat baru eksploitasi?