Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

Disinformasi dan Narasi Negatif di Medsos Picu Aksi Tolak Rohingya di Aceh

Narasi negatif berupa disinformasi, hoaks, hingga ujaran kebencian di media sosial memicu penolakan keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh

BANDA ACEH — Narasi negatif berupa disinformasi, hoaks, hingga ujaran kebencian mengenai keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh merebak di sejumlah platform media sosial saat ini.

Sejumlah aktivis sipil lintas organisasi menduga ada upaya dominan di media sosial dalam penyebaran disinformasi atau narasi yang keliru hingga memicu aksi penolakan pengungsi Rohingya di Aceh

Hal itu disampaikan dalam kegiatan media briefing dengan tajuk ‘Merespons Situasi & Kondisi Terkini Penolakan Pengungsi Rohingya di Aceh’ yang digelar daring, Kamis (28/12).

Sejumlah perwakilan kelompok sipil yang hadir di antaranya Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), SUAKA, AJAR, Jesuit Refugee Service (JRS), FORUM-ASIA, dan AJI Indonesia.

Koordinator Badan Pekerja KontraS Aceh Azharul Husna mengatakan pihaknya menduga ada upaya ujaran negatif hingga disinformasi di media sosial –yang berujung viral, sehingga berujung konflik warga Aceh terhadap kedatangan gelombang pengungsi imigran Rohingya.

“Menurut kami sebenarnya yang memicu konflik ini termasuk adalah ujaran negatif dan disinformasi di media sosial terhadap pengungsi Rohingya,” ujar Husna, Jum’at (29/12).

Ia lalu memperkuat argumentasi itu dengan merujuk pada peristiwa di lapangan mengenai alasan dari para mahasiswa demonstran ketika ditanyai motif dari keturutsertaannya dalam aksi.

“Ini teruji dari pernyataan beberapa mahasiswa yang ikut dalam demonstrasi tersebut. Jadi ketika ditanyakan ‘Mengapa misalnya ikut demonstrasi tersebut?’ Alasan ketidaksukaannya terhadap pengungsi Rohingya itu tidak dapat menjawab dengan pasti. Dan, yang disampaikan itu seperti informasi-informasi di media sosial,” ujar Husna.

Dalam catatan KontraS Aceh, kedatangan pengungsi Rohingya saat ini sudah ke 39 kalinya. Pertama pada tanggal 7 Januari 2009, saat itu dikenal sebagai manusia perahu.

Barulah setelahnya baru diketahui bahwa mereka adalah pengungsi beretnis Rohingya. Kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh biasanya sekali setahun, dua tahun sekali atau setahun dua kali. Sejak 2021, setelah junta militer di Myanmar frekuensinya menjadi meningkat yakni dalam setahun 3-9 kali. Isu penolakan pertama kali terdengar pada tahun 2022 di Bireuen lalu Lhokseumawe.

Namun situasi terparah terjadi Rabu (27/12) kemarin. Mahasiswa melakukan aksi. Awalnya menyasar gedung DPRA.

Setelah orasi dan berjumpa dgn salah satu anggota dewan yang mengiyakan tuntutan soal Tolak Rohingya, massa beralih ke Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) dimana 137 pengungsi, yang awalnya mendarat di Ladong dan dipingpong ke sejumlah lokasi tetapi ditolak, berada.

Dari sini, di basemen, BMA mahasiswa menerobos barikade, bergerak menuju ke pusat penempatan pengungsi di mana sejumlah pengungsi laki-laki kala itu sedang salat zuhur berjemaah.

Tidak cukup sampai di situ, di dalam video yang tersebar di medsos, mahasiswa menuju ke kumpulan pengungsi yang terdiri dari perempuan dan anak-anak, lalu mulai berteriak serta menendang sejumlah barang ringan yang terhempas ke udara. Pengungsi saat itu hanya bisa pasrah dengan wajah memelas. Banyak juga yang histeris karena panik.

Mengapa mahasiswa ini yang seharusnya bertindak membela rakyat marginal, justru bertindak anarkis pada pengungsi? Apakah ada faktor yang menyebabkan hal ini? Soal faktor pastinya kita tidak bisa berjudi dengan cara menerka-nerka termasuk menaruh kecurigaan bahwa apakah di balik semua gerakan penolakan ini ada aktor-aktor intelektual.

Yang, pasti ini tampaknya terkoordinasi dengan baik. Termasuk juga serangan kebencian tidak saja menyasar pengungsi, tetapi ikut juga menargetkan staf pekerja kemanusiaan dan pihak-pihak yang dinilai mendukung atau propengungsi.

Apa yang perlu pihak berwenang lakukan agar masyarakat Aceh mampu diredam dan kembali merawat situasi damai dengan pengungsi? Jika yang berwenang melakukan tugas dan tanggung jawabnya mungkin apa yang terjadi hari ini di BMA dimana mahasiswa merangsek masuk ke basement di mana 137 pengungsi berada tidak akan terjadi.

Namun, yang bisa kita upayakan adalah Indonesia, dalam hal ini otoritasnya, harus menjelaskan ke publik bahwa selama ini telah beredar misinformasi dan disinformasi terkait pengungsi Rohingya yang telah berakibat fatal di mana stereotype tentang Rohingya kadung dibentuk oleh narasi dominan itu. Tentu saja ini memerlukan kerja keras, dan terkesan sia-sia.

Namun, hal ini harus tetap diupayakan. Di Aceh, ulama saja sekarang tidak dipercaya apabila angkat bicara yang isinya pro pengungsi Rohingya. Ini artinya narasi negatif yang terbangun soal pengungsi sudah pekat dengan publik.

Menyoal potensi ujaran negatif dan disinformasi di medsos terhadap pengungsi Rohingya, akankah memicu konflik horizontal dan persekusi yang nyata pada para pengungsi?

Terlalu dini untuk menyatakan bahwa situasi ini akan berdampak terjadinya konflik horizontal dan persekusi. Namun, otoritas tentu saja harus memitigasi kemungkinan-kemungkinan seperti ini.

Termasuk juga memperhatikan apa dampak bagi Indonesia di mata internasional jika terjadi serangan fisik menyasar pengungsi.

Berkaitan erat dengan komitmen Indonesia dalam menerima dan menjaga pengungsi, Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 mengenai hak pengungsi dari luar negeri memang saat ini belum diratifikasi oleh Indonesia. Kekosongan ratifikasi ini menciptakan kerumpangan Indonesia dalam bertindak dalam situasi di Aceh, termasuk pemerintah daerah.

Meski begitu, Indonesia telah secara aktif meratifikasi Konvensi-konvensi HAM fundamental lainnya yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengungsi. Pada konteks penyelamatan pengungsi yang melarikan diri, perlindungan terhadapnya adalah salah satu implementasi pemenuhan perlindungan hak atas kehidupan yang tercantum dalam Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik/ICCPR.

Selain itu, perlindungan pada kelompok rentan yang lebih khusus, yaitu perempuan dan anak-anak juga berkaitan pada situasi ini. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW dan Konvensi mengenai Hak-Hak Anak/CRC. Sehingga, Konvensi-Konvensi HAM ini harus menjadi basis utama dalam perlindungan HAM bagi pengungsi Rohingya pada saat perjalanan, dalam proses penerimaan, dan pada saat mendarat dan mendapatkan perlindungan di wilayah Indonesia.

Sehingga, instrumen internasional ini dapat menyanggah argumen soal ketiadaan kewajiban negara dalam melindungi pengungsi Rohingya karena belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.

Selain itu, perlindungan ini juga berkaitan dengan perlindungan pengungsi dari adanya diskriminasi rasial yang tercipta akibat sirkulasi ujaran kebencian melalui media sosial dan media massa. Indonesia, telah meratifikasi Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial/ICERD.

Penting untuk kemudian mencatat mengenai cukup tingginya peredaran narasi untuk dilakukan pengembalian pengungsi Rohingya ke negara asal Myanmar.

Hal ini sangat berbahaya mengingat situasi yang belum aman bagi pengungsi Rohingya untuk kembali ke Myanmar, mengingat besarnya potensi bagi pengungsi Rohingya untuk terekspos pada penyiksaan dan diskriminasi terhadapnya.

Selain itu, hal ini juga melanggar prinsip fundamental dalam hukum internasional yaitu prinsip non-refoulement yang diatur dalam kebiasaan hukum internasional dan melalui Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan/CAT yang telah diratifikasi Indonesia.

Dalam konteks instrumen hukum nasional, Indonesia telah memiliki Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri/Perpres 125/2016.

Perpres ini harus menjadi acuan utama dalam konteks penanganan pengungsi yang berlaku sebagai dasar hukum tingkat nasional. Selain adanya implementasi mandat dari tiap-tiap badan negara yang tercantum dalam Perpres tersebut, Perpres ini harus dipahami, dihargai, dan terus menjadi pengingat bagi seluruh elemen masyarakat sipil agar perlindungan pengungsi terus berlanjut.

Lebih jauh, Indonesia sendiri telah mengakui hak seseorang untuk mendapatkan suaka politik sebagaimana tercantum dalam Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bab VI Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, dan Pasal 28 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. (IA)

author avatar
Redaksi
Redaksi INFOACEH.net

Lainnya

Kejari Lhokseumawe menahan dua tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Rumah Susun Politeknik Negeri Lhokseumawe, Senin (28/7). (Foto: Dok. Kejari Lhokseumawe)
Restoran Apung yang diduga karamba bagian bawahnya merupakan milik Dinas Perikanan dan Kelautan kota Sabang. (Foto: Ist)
Fadel Muhammad Riayadi dan Maulidir Hidayat. (Foto: Humas USK).
Yayasan HAkA mengungkap temuan titik api di sekitar dan dalam area konsesi PT Aceh Lestari Indo Sawita (ALIS) di Kecamatan Trumon, Aceh Selatan. (Foto: Ist)
Pemerintah Aceh melalui Tim Penjaringan dan Penyaringan membuka pendaftaran calon anggota Badan Baitul Mal Aceh periode 2025–2030. (Foto: Ist)
Polsek Bandar Polres Bener Meriah berhasil mengungkap kasus curanmor yang merupakan residivis. Seorang pelaku AH (28) berhasil diamankan kurang tiga jam setelah kejadian. (Foto: Dok. Polres Bener Meriah)
Sosoknya belakangan dipersoalkan usai diklaim bukan alumni UGM, melainkan calo terminal di Solo. (X/@DokterTifa)
Mendagri Tito Karnavian melantik 1.110 Pamong Praja Muda IPDN Angkatan 32 di Lapangan Parade, Kampus IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Senin (28/7). (Foto: Dok. Humas IPDN)
160 masyarakat dari Aceh Besar dan Banda Aceh mengikuti workshop SAR di kantor Basarnas Aceh, Lhoong Raya, Banda Aceh, Senin (28/7/2025). (Foto: Ist)
Nadiem Makarim saat tiba untuk diperiksa penyidik Kejagung dalam kasus Chromebook, Selasa (15/7/2025)
Rektor UIN Ar-Raniry Prof Dr Mujiburrahman MAg melantik Muhazar SHum MA sebagai Kepala Tata Usaha (KTU) Fakultas Sains dan Teknologi, Senin (28/7). (Foto: Ist)
Tiga pelajar yang mencoret simbol negara kini dalam pendampingan psikologis dan proses hukum di Unit PPA Polres Sragen.
Tangkapan layar video viral aksi perundungan di Bondowoso yang menunjukkan seorang anak menjadi korban kekerasan oleh dua remaja, diduga terjadi di area persawahan Desa Pengarang. (TikTok/@andreanto768)
Tim Marching Band Gita Handayani sukses mengharumkan nama Aceh dengan torehan 5 medali dalam ajang FORNAS VIII di Nusa Tenggara Barat (NTB), 26 Juli–1 Agustus 2025. (Foto: Ist)
JPU Kejari Bireuen menerima penyerahan tersangka M beserta barang bukti sabu seberat 190,5 kg dari Tim Satgas NIC Bareskrim Polri, Senin, 28 Juli 2025. (Foto: Dok. Kejari Bireuen)
Muhammad Riza Chalid, tersangka mega korupsi migas, yang kini diburu Kejagung dan disebut berada di bawah perlindungan Kesultanan Malaysia. (Foto: dok. Istimewa)
Jufrizal yang merupakan ketua periode sebelumnya, resmi mendaftarkan diri sebagai calon ketua untuk memimpin PWI Aceh Besar. (Foto: Ist)
Selebgram Malaysia Izza Fadhila jadi sorotan usai video 13 menit yang diduga menampilkannya viral dan menuai hujatan netizen.
Wagub Aceh Fadhlullah bersama Bupati Pidie Jaya, Sibral Malasyi menyerahkan Alat Mesin Pertanian bantuan Kementerian Pertanian ke Pemkab Pidie Jaya, Senin (28/7). (Foto: Ist)
Tutup