Saat ini, terdapat sejumlah pengungsi warga negara asing di Aceh berasal dari Bangladesh, yang selama ini menjadi negara penerima suaka bagi etnis Rohingya.
Namun, menurut Ann Maymann, mereka tidak kehilangan status pengungsi meski keluar dari negara tersebut.
Status seperti ini, menurut Ann Mayman, juga melekat bagi pengungsi Afghanistan yang meninggalkan negara mereka Afghanistan menuju Iran kemudian ke Turki dan selanjutnya ke Yunani hingga kemudian tersebar ke berbagai negara Eropa termasuk di Jerman.
Di Jerman, para pengungsi tersebut tidak dikembalikan lagi ke negara asal.
“Beberapa negara memiliki persetujuan untuk mengirimkan kembali pengungsi yang telah tiba ke negara mereka, seperti misalnya ada perjanjian antara Yunani dan Turki, dimana pengungsi-pengungsi yang tiba di Yunani bisa dikembalikan ke Turki, tetapi itu tidak berjalan dengan baik,” kata Ann Maymann.
Menurutnya Indonesia dapat bernegosiasi terkait Rohingya tersebut dengan Bangladesh atau negara lainnya untuk masalah pengembalian para pengungsi. Namun, kata Ann, saat ini tidak ada kerja sama seperti itu dan kebijakan tersebut kembali kepada Indonesia untuk mengambil sikap.
Meskipun demikian, menurut UNHCR, kebijakan untuk mendeportasi pengungsi ke negara asal kedatangan bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
“Dan saya rasa Bangladesh juga tidak akan setuju jika ada perjanjian seperti ini karena mereka sudah punya pengungsi lebih dari satu juta jiwa,” kata Ann Maymann.
Dia mengingatkan kedatangan pengungsi Rohingya dari Myanmar diakibatkan adanya persekusi dari junta militer di negara mereka. Selain itu, warga etnis Rohingya tersebut juga berstatus stateless atau orang tanpa kewarganegaraan.
“Mereka tidak diakui oleh pemerintah Myanmar, sebagai warga negara Myanmar,” kata Ann lagi.
“Jadi Rohingya ini adalah salah satu grup yang paling rentan di dunia dan mereka mencari tempat untuk menetap,” katanya.
Ann Mayman mengatakan akan mendukung sepenuhnya kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia, maupun Pemerintah Aceh.