Kemudian, alasan kedua karena ia sebagai sosok putra berdarah Aceh yang kini memiliki jabatan dan posisi sangat strategis di lingkungan Kemendagri pernah mengisi jabatan sebagai Direktur Penataan Daerah dan Otonomi Khusus pada tahun 2016.
“Tentunya ini akan dapat memberikan dampak positif untuk keberlangsungan pembangunan Aceh mendatang. Sebab, Provinsi Aceh termasuk dalam salah satu daerah yang berstatus Otonomi Khusus, jadi sangat tepat jika Pj. Gubernur Aceh dimandatkan kepada Beliau. Sebagaimana serangkaian tour of duty di lingkungan Kemendagri telah dijalaninya, sehingga membuatnya menjadi lebih matang dan kaya akan pengalaman tentang manajemen pemerintahan.
Khususnya yang berkaitan langsung dengan tata kelola pemerintahan Otonomi Khusus (Otsus), seperti Aceh, DKI, DIY dan Papua, selaku kepala pusat inovasi daerah yang berkecimpung agar daerah berkreasi dalam menjalani roda pemerintahannya.
Hal ini tentunya sangat dibutuhkan oleh Provinsi Aceh dalam menjawab beragam permasalahan pembangunan yang masih belum tertata rapi dan memilik arah yang jelas akan prospek Aceh di masa mendatang pasca 17 tahun perdamaian sejak MoU Helsinki tahun 2005.
Menurutnya, melihat kondisi pembangunan Aceh yang masih memiliki banyak problematika di lapangan. Maka Aceh perlu dipimpin oleh sosok yang memiliki kapasitas mumpuni untuk menjadi corong utama Pemerintah Aceh dalam mengawal dan merealisasikan kekhususan yang dimiliki melalui peran kolaboratif antara Aceh dan Pusat, disamping itu juga perlu adanya peran-peran diplomasi politik terkait perwujudan poin-poin MoU Helsinki yang masih belum terealisasi dengan baik.
“Dikarenakan Aceh memiliki kekhususan pasca perjanjinan MoU Heslinki, diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. UU 11/2006, yang berisi 273 pasal, merupakan Undang-undang Pemerintahan Daerah bagi Aceh secara khusus. Maka di dalam menjalankan tata kelola Pemerintahan Aceh mesti mengacu pada UUPA yang ada sebagai bentuk mewujudkan pencapaian cita-cita pembangunan Aceh secara berkelanjutan”, lanjutnya.