Hakim PT Banda Aceh Kurangi Hukuman Suaidi Yahya Jadi Lima Tahun
Terkait mengapa dibatalkannya pidana uang pengganti, Taqwaddin menjelaskan bahwa Majelis Hakim Banding tidak menemukan alat bukti baik berupa keterangan saksi maupun dokumen barang bukti yang dapat disimpulkan terdakwa menerima aliran dana dari kejahatan korupsi pada Rumah Sakit Arun Lhokseumawe.
Menurut perhitungan Inspektorat Lhokseumawe kerugian negara yang terjadi dalam perkara ini lebih dari Rp 44 miliar yang dilakukan oleh dua terdakwa yaitu Suaidi Yahya dan Hariadi.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis mantan Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya, dengan hukuman enam tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan Rumah Sakit (RS) Arun Lhokseumawe.
Vonis tersebut dibacakan majelis hakim diketuai R Hendral pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh di Banda Aceh, Rabu, 17 Januari 2024.
Vonis lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Suaidi dengan hukuman delapan tahun penjara.
Suadi Yahya merupakan Wali Kota Lhokseumawe dua periode yakni 2012-2017 dan 2017-2022.
Selain pidana enam tahun penjara, majelis hakim juga menghukum terdakwa Suaidi Yahya membayar denda Rp300 juta subsidair tiga tahun penjara. Serta membayar kerugian negara Rp 7 miliar, jika tidak dibayar maka dipidana tiga tahun penjara.
Majelis hakim menyatakan terdakwa Suaidi Yahya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Berdasarkan fakta persidangan, majelis hakim menilai terdakwa Suadi Yahya selaku Wali Kota Lhokseumawe menyalahgunakan wewenang dalam mengelola Rumah Sakit Arun pada rentang waktu 2016-2022. Rumah sakit tersebut merupakan hibah dari PT Arun kepada Pemko Lhokseumawe.
“Seharusnya, pengelolaan rumah sakit tersebut dikelola Pemko Lhokseumawe melalui unit pelaksana teknis, bukan membentuk perusahaan yang mengelolanya. Akibat kebijakan terdakwa tersebut telah menyebabkan kerugian keuangan negara,” kata majelis hakim.