Hentikan Kasus SPPD Fiktif KKR, Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh Dilaporkan ke Kompolnas
BANDA ACEH – Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh Kompol Fadillah Aditya Pratama dilaporkan ke Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI terkait penghentian kasus dugaan korupsi SPPD fiktif pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh beberapa waktu lalu.
Laporan itu disampaikan secara tertulis pada Selasa (7/11) oleh
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) dan Katahati Institute.
Selain ke Kompolnas, Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh juga dilaporkan ke Kepala Bagian Pengawasan Penyidikan (Kabag Wassidik) Polda Aceh, Inspektur Pengawasan Daerah Polda Aceh (Irwasda Polda Aceh) dan Kepala Bidang Propam Polda Aceh.
Dalam keterangan tertulis yang diterima dari LBH Banda Aceh, MaTA dan Katahati Institute menyebutkan, laporan itu dibuat menyikapi penghentian kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh oleh penyidik Satreskrim Polresta Banda Aceh.
Tindakan Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh yang menghentikan kasus dugaan korupsi SPPD fiktif KKR Aceh dengan alasan adanya pengembalian kerugian negara adalah perbuatan melawan hukum
Serta bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Karena yang bersangkutan layak diberikan sanksi untuk mempertanggungjawabkan tindakan tidak profesionalnya itu,” kata Koordinator MaTA Alfian, Jum’at (10/11).
Alfian melanjutkan pihaknya juga telah mengajukan permohonan supervisi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 9 November 2023.
Permohonan supervisi ini sejalan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki KPK sebagaimana diamanatkan Undang-Undang KPK dan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan adanya supervisi KPK, diharapkan kasus ini dapat berlanjut ke pengadilan dan pelakunya segera diadili.
“Kami menilai pernyataan Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh bahwa kasus ini tidak dihentikan, tetapi dipulihkan, hanyalah permainan bahasa untuk mengelabui publik atas upayanya melindungi pelaku tindak pidana korupsi,” kata Alfian.
“Masih ada opsi lain yang seharusnya dapat ditempuh untuk memulihkan kerugian keuangan negara tanpa harus menggunakan cara-cara impunitas,” tuturnya.
Sementara Plh Direktur LBH Banda Aceh Muhammad Qodrat mengatakan, dalih Polresta Banda Aceh yang menghentikan kasus ini karena adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan, dan Kepolisian bukanlah alasan atau dasar hukum yang sah.
MoU tersebut hanya kesepakatan yang dibuat antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan, dan Kepolisian. Kesepakatan mereka seharusnya tidak dapat mengesampingkan ketentuan undang-undang.
Apabila kesepakatan yang dibuat para pejabat itu dapat mengesampingkan ketentuan undang-undang, maka Indonesia akan menjadi negara kekuasaan (machstaat) dan kehilangan maknanya sebagai negara hukum.
Menurutnya, tidak ada alasan bagi Polresta Banda Aceh untuk menghentikan kasus ini.
Tindak pidana dan alat buktinya sudah sangat jelas. Penyidik harus segera melanjutkan penyidikan dan menetapkan tersangkanya.
“Penghentian kasus dugaan tindak pidana korupsi KKR Aceh oleh Polresta Banda Aceh hanya akan meningkatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polisi,” jelasnya.
Keputusan Polresta Banda Aceh menghentikan kasus ini menunjukkan institusi Kepolisian itu tidak peka dan tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Hal tersebut akan menjadi preseden buruk dalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Dengan adanya preseden ini, pejabat publik tidak akan segan lagi melakukan korupsi.
“Para koruptor bisa berlindung di balik skema pengembalian kerugian negara. Apabila perbuatan korupsinya terendus, para koruptor tinggal mengembalikan hasil curiannya dan perkara akan ditutup begitu saja,” sebutnya. (IA)