Banda Aceh – Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani
menyampaikan kekhawatirannya mengenai kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Aceh.
Andy menuturkan bahwa kasus kekerasan seksual di Aceh terus meningkat, tetapi kasus yang diputus di pengadilan begitu rendah. Padahal, Aceh telah memiliki UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) pasal 231 untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak di Aceh serta upaya pemberdayaan yang bermartabat.
Hal itu terungkap dalam Webinar Nasional dengan tema “Kebijakan dan Aturan Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksualdalam Pemenuhan Hak Asasi Perempuan di Aceh”, Jum’at (4/12).
Webinar tersebut dilaksanakan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerja sama dengan Flower Aceh dan Pusat Riset HAM Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).
Webinar ini dibuka pidato kunci oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga.
Lebih lanjut Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menambahkan, Aceh juga telah memiliki sejumlah qanun untuk perlindungan perempuan, contohnya Qanun Nomor 6 tahun 2009 yang menyatakan setiap perempuan yang berhadapan dengan hukum termasuk posisi sebagai korban, tersangka, terdakwa atau tahanan memiliki hak atas pengamanan.
Permasalahan rendahnya kasus kekerasan seksual yang diputus oleh pengadilan di Aceh kemudian dijawab oleh pembicara selanjutnya, yakni Rasyidah yang merupakan Presidium Balai Syura Urueng Inong Aceh.
Rasyidah menyampaikan pada kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, Pemerintah Aceh berpegang pada qanun tentang hukum Jinayat yang menerapkan hukuman diantaranya cambuk, denda emas, atau penjara.
Sementara, hasil survei cepat yang dilakukan oleh Rasyidah di beberapa Mahkamah Syariah di Aceh tahun 2020, menunjukkan, mayoritas Mahkamah Syariah menerapkan hukuman cambuk pada pelaku kekerasan seksual.
Hal tersebut membuat banyak korban enggan untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya, karena hukum cambuk dianggap terlalu ringan.
Lebih lanjut Rasyidah mengutip pendapat orang tua korban perkosaan mengenai hukum cambuk, “Kalau tahu hukuman ini hanya cambuk saya tidak terpikir berani untuk melaporkannya, kenapa tidak bisa seperti di TV yang dipenjara 20 tahun?”.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, memaparkan data kekerasan seksual terhadap perempuan di Provinsi Aceh yang mencapai 162 kasus sepanjang tahun 2020 (SIMFONI PPA, 2020).
Ia juga menyampaikan, jumlah kasus yang terjadi di lapangan bisa jauh lebih besar, karena banyaknya kasus yang tidak terlaporkan.
Menteri Bintang menekankan, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kekerasan seksual di Indonesia. Namun, dalam penangananya masih belum memiliki mekanisme khusus, spesifik dan berperspektif korban.
Karenanya Bintang menyampaikan RUU P-KS harus segera disahkan karena sudah memenuhi syarat landasan filosofis, sosiologis, yuridis, memuat sistem pencegahan yang komprehensif dan pengaturan yang berperspektif korban. (IA)