Ini Alasan Orang Yahudi tak Boleh Sembahyang di Masjid al-Aqsa
Pandangan ini sudah lama menjadi pandangan minoritas di kalangan Yahudi di Israel dan seluruh dunia, namun tidak selalu jauh dari pandangan umum.
Salah satu cerita yang populer – namun mungkin diragukan kebenarannya – datang dari Jenderal Uzi Narkiss, yang memimpin pasukan Israel dalam merebut Kota Tua pada tahun 1967. Dia mengklaim bahwa Shlomo Goren, yang saat itu menjabat sebagai kepala rabi militer dan kemudian menjadi kepala rabi Israel, telah mendesaknya untuk merebut Kota Tua untuk meledakkan Masjid al-Aqsa.
Meskipun Goren dan yang lainnya menyangkal pernyataan Narkiss, dia adalah seorang pendukung terkemuka ibadah Yahudi di Temple Mount. Ia memicu kontroversi pada bulan Agustus 1967 ketika dia memimpin sekelompok jamaah untuk berdoa di situs tersebut. Tindakannya memicu kecaman dari kalangan Muslim, Yahudi sekuler, dan Kepala Rabbi Yerusalem, yang menyatakan kembali bahwa orang Yahudi dilarang untuk beribadah di situs tersebut.
Meskipun sebelumnya ia menyangkal rencana penghancuran Masjid Al-Aqsa, ia kemudian dilaporkan mengatakan kegagalan penghancuran bangunan tersebut merupakan sebuah “tragedi” saat diwawancarai radio Israel.
Terlepas dari larangan orang Yahudi memasuki halaman masjid, selama bertahun-tahun kelompok pemukim Israel memasuki kompleks tersebut dengan didampingi oleh petugas keamanan Israel. Sampai saat ini mereka biasanya dilarang melakukan ritual keagamaan (kecuali secara diam-diam) untuk mencegah provokasi terhadap jamaah Muslim.
Insiden provokatif Israel yang paling terkenal di Al-Aqsa terjadi pada tanggal 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi Israel saat itu Ariel Sharon memasuki halaman dengan dikawal oleh lebih dari 1.000 petugas polisi Israel dan menyatakan bahwa halaman tersebut akan selamanya berada di bawah kendali Israel.
Kunjungan tersebut – yang diizinkan oleh Kementerian Dalam Negeri Israel dan dilakukan dengan latar belakang perundingan perdamaian – memicu kemarahan warga Palestina, dan akhirnya berkembang menjadi Intifada Kedua yang mengakibatkan kematian lebih dari 3.000 warga Palestina dan lebih dari 1.000 warga Israel dalam jangka waktu lima tahun.