Jokowi Luncurkan Pemulihan Korban Pelanggaran HAM, Sebagian Korban Menolak dan Menuntut Keadilan
Sejumlah korban kasus-kasus pelanggaran HAM berat turut menghadiri peluncuran ini secara langsung maupun virtual.
Di antaranya adalah korban dari kasus Rumah Geudong, Jambo Keupok, Simpang KKA, Wasior, Wamena, hingga eksil peristiwa 1965.
Sementara itu, salah satu korban kasus Rumah Geudong, Abdul Wahab, 82, menyatakan “menolak” penyelesaian nonyudisial yang baru saja dimulai pemerintah.
“Kalau yudisial, saya terima, nonyudisial enggak. Pelaku masih hidup, yang diperlakukan masih hidup,” kata Abdul Wahab kepada wartawan di Aceh, Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Keadilan itu perlu untuk korban
Abdul Wahab pernah ditahan dan disiksa di Pos Sattis Rumah Geudong selama 35 hari. Akibatnya, dia mengalami cacat di kaki dan pinggang.
Dia menjadi salah satu korban yang menolak upaya nonyudisial sejak awal pemerintah menggaungkan rencana ini.
Abdul mengaku pernah diundang oleh tim PPHAM pada awal-awal pembentukan tim tersebut. Namun kepada tim itu, dia mengatakan bahwa dirinya menolak diberi dispensasi.
“Saya tidak membutuhkan apa-apa. Yang saya butuhkan hanya tanah seluas dua meter dan kain putih. Saya tidak membutuhkan apa-apa, selain keadilan,” tuturnya.
Keluarga korban dari tragedi Simpang KAA, Murtala, juga masih menuntut agar pemerintah “tidak menafikan” penyelesaian yudisial.
Murtala kehilangan abang sepupunya bernama M Nasir yang tewas ditembak dalam peristiwa itu.
“Keadilan itu perlu untuk korban, bukan semata-mata karena bantuan itu,” kata Murtala.
Murtala, yang juga merupakan Ketua Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KAA mengaku sebagian besar korban dan keluarga peristiwa tidak menerima undangan sama sekali.
Kalaupun diundang, dia menyatakan “enggan hadir” dalam acara peluncuran itu apabila tidak seluruh korban dilibatkan.
“Seharusnya, kami, kan atas nama forum, kan, bisa mewakili seluruh korban. Kami, kan, ingin langsung dialog dengan presiden terkait dengan pemulihan,” kata Murtala kepada wartawan di Aceh Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.