Jokowi Luncurkan Pemulihan Korban Pelanggaran HAM, Sebagian Korban Menolak dan Menuntut Keadilan
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan untuk penyelesaian yudisial nanti akan dirampungkan oleh Komnas HAM, Kejaksaan dan DPR RI.
“Data non-yudisial bukan untuk menggantikan yudisial, jadi datanya tidak akan ada yang terganggu, jadi apa masalahnya? kan yang yudisial nanti Komnas HAM bersama Kejaksaan dan DPR RI nanti,” ucapnya.
Upaya penyelesaian nonyudisial ini pertama kali bergulir ketika Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 untuk membentuk Tim PPHAM.
Tim PPHAM kemudian menerbitkan 11 rekomendasi yang di antaranya meminta pemerintah mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Rekomendasi lainnya adalah menyusun ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa.
Pemerintah juga diminta memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa yang terjadi, mendata para korban, membangun rekonsiliasi, hingga menjamin ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM berat.
Presiden Jokowi pun telah menyampaikan “pengakuan” dan “penyesalannya” terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu pada 11 Januari 2023.
Setelah itu, pemerintah meluncurkan program pemulihan hak-hak korban yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
Pemerintah pun telah berulang kali menyampaikan bahwa upaya ini tidak menafikan upaya yudisial, yang sejauh ini belum membuahkan hasil.
Sejauh ini, 35 terdakwa pelanggaran HAM berat dari empat kasus telah dinyatakan bebas karena tak cukup bukti.
Sementara itu, terkait desakan untuk pengungkapan kebenaran, Mahfud MD mengungkapkan bahwa hal itu “sudah pernah dibicarakan”, namun sejarah yang terungkap selalu “berbeda-beda”.
“Oleh sebab itu kita sekarang perhatikan korbannya saja, soal kebenaran sejarahnya itu ilmu. Kemdikbud akan memberikan dan menyediakan biaya penelitian bagi siapa saja yang menulis sejarah, tapi tidak mungkin itu menjadi satu-satunya kebenaran karena setiap penulis sejarah itu punya orientasinya sendiri dan harus dihargai,” kata Mahfud dalam jumpa pers di Jakarta pada Jumat (23/6). (IA)