Juragan Sandal Gatal Injak Tanah Ganyang
Oleh: Andi Armi*
Angin sejarah yang seharusnya tenang, kini kembali diusik langkah gatal sang saudagar.
Langkah seorang pengusaha yang dikenal luas sebagai juragan sandal, baru-baru ini mengoyak permukaan sejarah yang telah lama dibungkus debu waktu.
Bukan karena kepiawaiannya menjual alas kaki, tapi karena kesombongannya menjejakkan langkah pada tanah yang tak lagi boleh disentuh: aset bekas organisasi terlarang, BAPERKI.
BAPERKI atau Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia, dahulu berdiri sebagai sebuah lembaga yang mengusung gagasan kebangsaan, namun kemudian dibaca oleh sejarah sebagai bayang-bayang onderbouw Partai Komunis Indonesia.
Seiring dengan gejolak bangsa pasca-G30S/PKI, negara tak hanya mengubur ideologinya, tapi juga merampas seluruh harta bendanya sebagai bentuk pemutusan mutlak terhadap pengaruh merah yang kala itu dianggap menggerogoti Republik.
Tahun 1966 menjadi garis api. Sejak itu, segala bentuk klaim, gugatan, atau warisan terhadap aset BAPERKI dinyatakan gugur secara hukum dan moral.
Sejarah telah membekukannya. Namun, ada saja yang mencoba menghangatkannya kembali.
Kini, di sebuah kota pesisir yang menatap Samudera, tanah yang telah dinyatakan milik negara kembali digelincirkan dalam bayang-bayang kepentingan.
Tiga bangunan peninggalan BAPERKI yaitu sekolah tua, gedung tua di samping rumah ibadah, dan satu unit kecil di belakang penginapan sunyi kini menjadi panggung diam yang sedang diramaikan oleh langkah-langkah tak tahu malu.
Adalah sang juragan sandal yang kini menaruh minat tak wajar pada salah satu dari bangunan itu.
Tak puas hanya menapak bumi dengan produknya, ia kini ingin menjejakkan kehendaknya di atas keputusan negara.
Ironi yang getir bangunan tersebut telah terdaftar sah sebagai aset pemerintah daerah, lengkap dengan sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional.
Dalam lembar negara, ia telah menjadi angka dalam neraca kekayaan daerah. Tak hanya harta mati, tapi bagian dari tanggung jawab yang dijaga oleh hukum.
Namun, hukum rupanya tak cukup kuat menahan nafsu yang tumbuh liar dari aroma keuntungan dan warisan yang didramatisasi.
Diam-diam, sang juragan menyusun siasat. Didorong oleh keyakinan pribadi, dibalut narasi hak waris, ia diduga menggerakkan jejaring tak kasat mata untuk menggoyang status hukum.
Ia mencoba membuka kembali pintu yang telah lama dikunci sejarah, dengan kunci baru yang dipoles dengan pengaruh dan uang.
Ini bukan sekadar sengketa aset. Ini adalah konspirasi halus yang mencoba memahat ulang sejarah dengan pisau tipis, memotong akar keputusan negara secara diam-diam, dan menanamkan bibit preseden yang bisa tumbuh jadi huru-hara jika dibiarkan.
Sejarah bangsa bukan kitab yang bisa dicoret seenaknya. Ketika negara telah menyatakan putus, maka tak boleh ada tangan yang nekat menyambungnya kembali, terutama jika sambungan itu hanya didorong oleh hasrat akan kepemilikan.
Kita, sebagai bangsa yang pernah terluka oleh pengkhianatan, tak boleh lemah terhadap upaya-upaya licik yang ingin membuka kembali luka lama.
Pemerintah daerah harus berdiri tegak, tak bergeming di hadapan uang, nama besar, atau narasi yang disulam indah.
Penegak hukum pun harus menatap tajam. Jangan biarkan ruang abu-abu menjadi tempat konspirasi tumbuh subur.
Jangan biarkan sejarah dipijak oleh sandal-sandal rakus yang hendak menjajakan kepentingannya di atas penderitaan dan keputusan masa lalu. Negara tak boleh alpa.
Republik ini dibangun dengan darah dan luka, bukan untuk digerus oleh mereka yang ingin menukar keputusan negara dengan modal pribadi.
“Sandal boleh tetap menyentuh tanah, tapi jangan pernah menginjak tapal batas sejarah yang telah diganyang demi Republik”
Catatan Penulis:
Tulisan ini adalah opini imajinatif penulis, dibangun atas kerangka sejarah dan fenomena sosial yang hidup dalam ingatan kolektif bangsa.
Nama tokoh, tempat, atau peristiwa dalam tulisan ini tidak merujuk secara langsung pada individu atau lokasi tertentu. Bila terdapat kesamaan nama, lokasi, atau peristiwa dengan kenyataan, maka hal itu adalah murni kebetulan semata, tanpa maksud menyerang pihak mana pun.
*Penulis adalah Penasihat Persatuan Wartawan Indonesia Kota Sabang