“Jadi, intinya jika keuangan daerah tidak stabil TPP ASN bisa ditiadakan atau disesuaikan kembali nominalnha agar tidak memberatkan keuangan daerah. Karena TPP bukanlah kewajiban utama daerah, tapi itu hanyalah tambahan/bonus penghasilan bagi ASN berdasarkan kinerja dan kondisi keuangan daerah.
Hal ini justru dipaksakan oleh Pj Walikota untuk dibayarkan tanpa melakukan penyesuaian dengan ketersediaan keuangan daerah, sehingga kondisi keuangan menjadi morat marit di akhir tahun walau pencermatan anggaran yang katanya sebagai solusi telah dilakukan,” paparnya.
Berikutnya, pasca penghematan anggaran melalui APBK Perubahan 2022, ternyata hanya menghasilkan penambahan alokasi anggaran pokok pikiran (pokir) bagi dewan. Kebijakan ini dinilai dilakukan Bakri Siddiq untuk mengamankan posisinya di mata dewan.
Selain itu, kata Mahmud, hal yang sangat memprihatinkan ketika TPP dipaksa dibayar dengan nominal yang tak disesuaikan dengan ketersediaan anggaran daerah, selanjutnya pokir dewan ditambah dan sejumlah program kerakyatan dan keagamaan dihapuskan, tapi justru serapan PAD juga tak tercapai walau sudah diturunkan jumlahnya.
“Jadi, sungguh sangat tidak berimbang, di satu sisi penghasilan tambahan yang besar dipaksakan dibayar kepada ASN, di sisi lain produktivitas menurun. Bukti menurunnya produktivitas ya capaian PAD yang nominalnya sudah dikurangi dari target awal APBK murni itupun tidak tercapai,” lanjutnya.
Kata Mahmud, ini menunjukkan secara kinerja pemerintahan kota Banda Aceh di bawah kepemimpinan Bakri Siddiq sudah tidak berpihak kepada masyarakat dan mengutamakan tambahan penghasilan PNS, malah justru produktivitas capaiannya menurun.
“Selama ini, Bakri Siddiq hanya bisa memaksa rakyat dengan menambah pajak bagi UMKM seperti kafe dan rumah makan, sementara sumber PAD lainnya seperti sektor pariwisata, sewa lapak/kios/toko pemko bahkan pengelolaan parkir tidak maksimal. Hal ini mengakibatkan Pemko Banda Aceh hanya bisa mengeluarkan cek kosong untuk membayar kegiatan yang telah dijalankan pihak ketiga,” bebernya.