BANDA ACEH — Kisruh yang saat ini terjadi antara PT Perta Arun Gas (PAG) dengan buruh lepas di lingkungan PT PAG di Lhokseumawe diharapkan menjadi perhatian Gubernur Aceh dan Pertamina.
“Meski belum mencuat ke publik, namun kita mengetahui kalau Manajemen Perta Arun Gas, anak perusahaan Pertamina yang dimiliki BUMN dan Pemerintah Aceh saat ini sedang mengalami “goncangan distrust” atau ketidak percayaan dari para low manajemen dan karyawannya,” ujar Pengamat Kebijakan Publik Aceh Dr Nasrul Zaman ST MKes, Kamis (26/8).
Menurutnya, hal ini dipicu dari model manajemen yang diperagakan oleh salah satu direktur PAG berkaitan dengan implementasi program corporate social responsibility (CSR) dan pola relasinya yang dianggap sangat ekslusif pada karyawan warga lokal Aceh.
“Kita tidak ingin perusahaan yang sangat baik ini mengalami kemunduran capaian produksi dan kinerja hanya karena satu orang direkturnya,” terangnya.
Ini juga dikhawatirkan bisa berdampak pada menurunnya pendapatan keuntungan dari perusahaan, dan akibatnya kontribusi deviden juga akan rendah bagi para pemegang saham (Pemerintah Aceh).
“Gubernur Aceh dan Pertamina sebagai pemegang saham terbesar kita harapkan segera duduk dan menyelesaikan masalah ini dan mengganti direktur tersebut dengan “putra Aceh”,” harapnya.
Ini penting dilakukan agar terjadi “transfer knowledge” secara bertahap bagi Aceh di masa mendatang untuk mampu mengelola perusahaan berteknologi tinggi ini secara mandiri.
Sebelumnua, para buruh lepas di lingkungan PT Perta Arun Gas (PAG) yang didampingi pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Lhokseumawe, melakukan audiensi ke DPRK setempat, Senin (23/8).
Kedatangan mereka diterima Ketua DPRK Lhokseumawe, Ismail A Manaf, serta didampingi Ketua Komisi C, Fauzan beserta dua anggota, Said Fachri dan Ustaz Hamzah.
Ketua SPSI Kota Lhokseumawe, T Burhanuddin didampingi Sekretarisnya, M Nadar ST menyebutkan, kedatangan mereka untuk mengeluhkan nasib buruh di lingkungan PAG yang sudah tidak bisa bekerja hampir setahun.
“Dulunya para buruh melakukan bongkar muat barang milik dari PAG dan PHE di lingkungan eks pabrik Arun. Tapi, sejak September 2020 lalu, mereka tidak diperbolehkan bekerja lagi,” paparnya.
Karena kondisi tersebut, pihaknya mengadu ke dewan dengan harapan segera ada solusi, dan para buruh bisa bekerja kembali.
Ketua DPRK Lhokseumawe, Ismail A Manaf mengaku sangat prihatin dengan kondisi ini. Apalagi, para buruh tersebut sudah bekerja di lokasi itu sejak masih beroperasi PT Arun.
“Jadi hampir setahun mereka kehilangan pekerjaan. Tentunya kehilangan pendapatan. Jadi, terkesan ada diskriminatif yang sedang terjadi terhadap buruh, padahal mereka hanya mencari sesuap nasi,” katanya. (IA)