Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama
Banda Aceh — Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Aceh meminta dalam penanganan para pengungsi asal Rohingya yang terdampar di perairan Kabupaten Aceh Utara, harus sesuai protokol kesehatan pencegahan Coronavirus Disease (Covid-19).
“Mengingatkan semua pihak terkait, terutama Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di Aceh untuk segera melakukan langkah-langkah koordinasi dan penerapan protokol kesehatan Covid-19 terhadap para pengungsi etnis Rohingya beserta dengan petugas dan relawan yang terlibat dalam proses evakuasi maupun pengamanan di lokasi penampungan sementara,” ujar
Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama di Banda Aceh, Jum’at (26/6).
Sebelumnya, pada Rabu (24/6), nelayan di Aceh Utara menemukan sebanyak 94 orang pengungsi etnis Rohingya yang menggunakan kapal motor terdampar di perairan pantai Seunuddon. 94 orang pengungsi tersebut terdiri atas 15 orang pria dewasa, 49 orang perempuan dewasa dan 30 orang anak-anak. Sejak Kamis (25/6), mereka ditempatkan sementara di bekas Kantor Imigrasi di Peunteut Kota Lhokseumawe.
Untuk itu, Sepriady Utama meminta Pemerintah Aceh segera berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan UNHCR dalam percepatan proses pendataan para pengungsi etnis Rohingya dan untuk menjamin tanggungjawab pemerintah pusat dalam penanganan pengungsi, baik bersifat temporary maupun berkelanjutan.
Sepriady Utama juga menyampaikan, Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh telah menyampaikan saran dan rekomendasi kepada Plt. Gubernur Aceh dan pihak-pihak terkait lainnya perihal tindak lanjut penanganan pengungsi Rohingya di Aceh Utara dan Lhokseumawe melalui Surat Nomor 593/PMT 3.5.1/VI/2020 tertanggal 26 Juni 2020.
Hal ini penting mengingat pengungsi etnis Rohingya telah berulang kali terdampar di Aceh, sekaligus menghindari terjadinya ketidakjelasan penanganan para refugee, seperti para pengungsi yang melarikan diri dari lokasi penampungan sementara dan tempat penampungan sementara para pengungsi yang tidak terurus.
“Dampak dari ketidakjelasan penanganan para pengungsi tersebut adalah potensi kehilangan hak asasinya sebagai manusia, stateless dan bahkan para pengungsi akan rentan menjadi korban kejahatan seperti human trafficking dan lainnya,” ungkap Sepriady.
Lebih lanjut ditambahkan, walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967, namun salah satu konsep fundamental dalam sistem perlindungan internasional bagi para pengungsi dan pencari suaka, adanya prinsip non-refoulement dalam hukum pengungsi internasional, dimana prinsip ini telah menjadi jus cogens (hukum kebiasaan internasional).
Prinsip non-refoulement adalah larangan atau tidak diperbolehkannya suatu negara untuk mengembalikan atau mengirimkan pengungsi ke suatu wilayah tempat dia akan menghadapi persekusi atau penganiayaan yang membahayakan hidupnya karena alasan-alasan yang berkaitan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, atau keyakinan politiknya.
Mengingat Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi Tahun 1951, maka pemerintah tidak dapat melakukan pendataan dan penentuan secara langsung terkait status refugee. Karenanya, pendataan dan penentuannya dilakukan UNHCR.
“Meskipun belum meratifikasi dan tidak memiliki mekanisme hukum nasional untuk menentukan status refugee, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi dan melindungi Hak Asasi Manusia para pengungsi,” sebutnya.
Komnas HAM menghormati upaya pemerintah yang bekerja sama dengan ASEAN untuk mengupayakan proses repatriasi refugee Rohingya dan mendorong UNHCR dalam proses resettlement, meskipun kedua hal tersebut saat ini sulit dilakukan karena semua negara sedang fokus dalam penanganan Covid-19.
“Komnas HAM mendukung pemerintah untuk melakukan ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, dan atau setidak-tidaknya membentuk undang-undang khusus untuk penanganan refugee di Indonesia. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban untuk memfasilitasi kebutuhan dasar dan perlindungan atas hak asasi manusia bagi refugee etnis Rohingya. Penanganan bagi pengungsi tersebut dapat dilakukan dengan berpedoman pada Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri,” jelasnya. (IA)