Banda Aceh, Infoaceh.net — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta untuk turun tangan mengusut dugaan praktik jual beli rekomendasi dan izin eksplorasi pertambangan di wilayah Barat Selatan Aceh.
Indikasi gratifikasi dan penyalahgunaan kewenangan dalam proses penerbitan rekomendasi tambang mulai dari tingkat gampong hingga kabupaten semakin menguat, seiring maraknya klaim sepihak atas lahan-lahan yang berpotensi mengandung mineral dan batubara (minerba).
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi(ALAMP AKSI) Provinsi Aceh, Mahmud Padang, sejumlah temuan di lapangan menunjukkan, rekomendasi dari perangkat gampong maupun surat dukungan dari camat dan pejabat teknis sering diterbitkan tanpa melalui musyawarah masyarakat, bahkan tanpa pemberitahuan kepada pemilik lahan.
“Modus operandi yang biasa terjadi adanya pihak-pihak tertentu yang membawa peta lokasi, kemudian mengklaim lahan sebagai wilayah eksplorasi tambang hanya bermodal surat rekomendasi untuk perusahaan pertambangan. Ini jelas rawan disalahgunakan dan berpotensi terjadi gratifikasi,” ujar Mahmud Padang, Jum’at, 17 Oktober 2025.
Mahmud menegaskan, praktik seperti ini tidak hanya melanggar etika pemerintahan, tetapi juga bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Mineral dan Batubara, setiap proses perizinan wajib memperhatikan keterlibatan masyarakat dan memastikan tidak ada tumpang tindih lahan dengan wilayah adat atau lahan produktif warga.
Selain itu, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dengan tegas mengatur bahwa izin usaha pertambangan (IUP) hanya dapat diberikan melalui mekanisme resmi pemerintah dan tidak dapat dilakukan secara informal secara diam-diam.
Sementara itu, kata Mahmud, sesuai dengan aturan terbaru Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menekankan transparansi dan integritas dalam penerbitan rekomendasi serta persetujuan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).
Setiap pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan membuka ruang gratifikasi, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Jika surat rekomendasi dijadikan komoditas yang diperjual belikan, lalu lahan-lahan masyarakat di kampung dijual di atas meja dengan peta sebagai lampiran, itu bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi ada indikasi korupsi dan gratifikasi yang harus diusut,” kata Mahmud Padang.
Ia mengingatkan agar para pejabat di tingkat daerah tidak menggunakan kewenangan administratif untuk memperkaya diri dengan menjual akses atas sumber daya alam yang seharusnya dikelola secara berkeadilan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana dipertegas Presiden Prabowo di dalam PP Nomor 39 Tahun 2025.
Mahmud menyoroti besarnya potensi sumber daya mineral di kawasan Barat Selatan Aceh yang selama ini menarik minat investor perusahaan pertambangan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi.
Namun, tanpa tata kelola yang baik dan pengawasan ketat, potensi tersebut justru bisa menjadi bencana sosial dan lingkungan.
“Kita tidak menolak investasi, tapi jangan sampai potensi tambang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang memperoleh surat dari hasil transaksi gelap baik dilakukan di dalam maupun dari luar Aceh. Ini penghianatan terhadap semangat otonomi khusus dan kedaulatan rakyat Aceh atas sumber daya alamnya,” tegasnya.
Ia menambahkan, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan sumber daya alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, praktik jual beli rekomendasi atau izin eksplorasi bukan hanya bentuk penyimpangan birokrasi, melainkan pelanggaran konstitusi.
“Sudah saatnya KPK dan Kejagung menurunkan tim ke Aceh untuk menelusuri indikasi jual beli izin tambang ini. Jangan biarkan lahan rakyat di kampung-kampung menjadi korban transaksi kotor antara pejabat dan perusahaan tambang,” tambahnya.
Ia juga menyerukan kepada Pemerintah Aceh agar memperketat sistem penerbitan rekomendasi izin untuk perusahaan tambang dengan menerapkan mekanisme due diligence yang transparan, dan memastikan setiap langkah administrasi sesuai dengan prinsip akuntabilitas publik sebagaimana diamanatkan dalam Qanun dan peraturan perundang-undangan nasional.
Ia juga mendengar isu yang beredar tentang indikasi adanya jual beli rekomendasi oleh pejabat pemerintahan kepada perusahaan tambang, kabarnya ada yang dalam bentuk dolar ada yang rupiah. Pihaknya mengaku akan terus melakukan penelusuran dan siap menerima informasi beserta bukti pelanggaran dalam pemberian rekomendasi dan izin eksplorasi dari berbagai masyarakat untuk diteruskan ke KPK dan Kejagung nantinya.
“Jangan sampai praktek gratifikasi dalam pemberian rekomendasi dan izin eksplorasi kepada perusahaan tambang terus dibiarkan terjadi, persoalan ini akan menjadi bencana masa depan bagi rakyat Aceh nantinya. Kami berharap KPK dan Kejagung tidak menutup mata,” tegas Mahmud.