“Karena permasalahan kuota haji ini terkait dengan penyelenggaraan ibadah di salah satu agama. Ini masalah keagamaan, menyangkut umat beragama, proses peribadatan. Jadi, tentunya ini melibatkan organisasi keagamaan,” kata dia.
Asep menggarisbawahi, bahwa langkah ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan ormas tertentu.
“Tentunya bukan dalam artian kami mendiskreditkan salah satu organisasi keagamaan tersebut, tidak. Kami memang di setiap menangani perkara tindak pidana korupsi akan meneliti dan menelusuri kemana uang-uang itu pergi,” kata dia.
Asep menegaskan, langkah ini diambil semata untuk pemulihan kerugian keuangan negara atau asset recovery.
“Sehingga kami bisa mengambil kembali uang negara yang diambil secara paksa oleh oknum para koruptor ini untuk dikembalikan kepada negara,” kata dia.
Kerugian Negara Capai Rp1 Triliun
KPK secara resmi memulai penyidikan kasus ini pada 9 Agustus 2025, setelah memeriksa mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam tahap penyelidikan pada 7 Agustus 2025.
Lembaga antirasuah juga telah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung potensi kerugian negara. Pada 11 Agustus 2025, KPK menyatakan bahwa estimasi awal kerugian negara mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Selain itu, KPK telah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri, termasuk mantan Menag Yaqut.
Terpisah, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan haji 2024.
Salah satu sorotan utama adalah pembagian kuota tambahan sebesar 20.000 dari Pemerintah Arab Saudi yang dibagi rata—masing-masing 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Pembagian ini dinilai melanggar Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8 persen dan kuota reguler sebesar 92 persen.