Infoaceh.net, Banda Aceh — Indikasi megakorupsi pengadaan kapal Aceh Hebat yang menelan anggaran mencapai Rp 178 miliar dan proyek pembangunan 12 ruas jalan yang menelan APBA hingga Rp 1,2 triliun hingga saat ini masih misteri.
Namun sangat disayangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah melakukan penyelidikan awal hingga kini melempem dan bungkam seribu bahasa tanpa penjelasan apa-apa di publik.
“Mengingat kondisi internal KPK yang semakin rapuh dan mungkin tak berdaya untuk mengungkapkan kasus mega korupsi tersebut, maka kami meminta agar kasus ini bisa diusut lagi dari awal oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI demi menyelamatkan marwah dan citra institusi penegakan hukum Indonesia di mata rakyat,” ujar Ketua DPW Aliansi Mahasiswa Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh Mahmud Padang, Kamis (20/6/2024).
Dia juga menyarankan, jika KPK tak lagi berdaya untuk menyelamatkan triliunan uang rakyat Aceh tersebut, maka kenapa tidak kasus itu diserahkan kepada kejagung untuk ditindaklanjuti.
“Publik dapat melihat akhir-akhir ini pembongkaran kasus mega korupsi di Indonesia yang dilakukan kejagung lumayan masif dan patut diacungi jempol, sehingga kita berharap kejagung dapat turun tangan dan menuntaskan pengusutan indikasi megakorupsi di Aceh tersebut,” harapnya.
Menurut Mahmud, pengungkapan indikasi mega korupsi pengadaan kapal Aceh Hebat dan proyek multiyears dapat dijejaki dari awal pengaturan ketersediaan anggaran dan penandatangan MoU antara legislatif dan eksekutif.
Salah satu pihak perwakilan legislatif yang nekat menandatangani MoU itu adalah mantan pimpinan DPRA Irwan Djohan, walaupun sudah ada rekomendasi dari komisi IV DPRA yang menolak penganggaran proyek tersebut.
“Kalau Kejagung turun bisa saja langsung periksa pihak legislatif yang melakukan penandatanganan MoU proyek multiyears itu seperti mantan pimpinan DPRA Irwan Djohan yang sudah mengakui ikut menandatangani, apakah dalam penandatanganan MoU tersebut ada transaksional atau gratifikasi/suap menyuap, bisa saja dengan barter penambahan pokir atau pemberian uang dan sebagainya, semua bisa saja terjadi. Pasalnya sosok bersangkutan berani menandatangani MoU proyek tersebut padahal komisi DPRA terkait sudah melakukan penolakan, sehingga jadi pertanyaan publik ada apa di balik semua itu hingga ada persetujuan pimpinan DPRA (penandatanganan MoU) yang mengabaikan prinsip kolektif kelembagaan,” bebernya.