Banda Aceh — Majelis Pemuda Aceh (MPA) menyatakan sikap dan mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dan membongkar mega kasus dugaan korupsi di Provinsi Aceh.
Koordinator MPA Heri Mulyadi kepada media ini Rabu (23/6) menyebutkan, penyelidikan yang dilakukan KPK di Provinsi Aceh sejak Juni 2021 seakan membawa secercah harapan baru bagi masyarakat Aceh.
Hal ini dinilai sebagai langkah tepat dan strategis dalam rangka menyelamatkan Aceh dari jurang kemiskinan Aceh. Dimana Aceh yang notabenenya daerah yang memiliki anggaran besar, namun masih terbelenggu dengan kemiskinan.
Sejumlah indikasi skandal mega korupsi telah tercium sejak lama oleh KPK dan mengundang kehadiran lembaga antirasuah tersebut ke negeri yang dijuluki Serambi Mekkah ini.
Beberapa indikasi mega korupsi yang dimaksud adalah pengadaan Kapal Aceh Hebat dengan jumlah anggraan Rp 178 miliar dan proyek pembangunan 14 ruas jalan skema tahun jamak atau multiyears contract (MYC) dengan total anggaran Rp 2,4 triliun.
“KPK harus segera membongkar skandal pengadaan Kapal Aceh Hebat dengan jumlah anggaran Rp 178 miliar, dan 14 proyek jalan MYC dengan total anggaran Rp 2,4 triliun. Semua itu guna untuk memyelamatkan masyarakat Aceh dari jurang kemiskinan, dan menjaga keberlansungan perdamaian Aceh,” ujar Koordinator MPA Heri Mulyadi.
MPA juga minta KPK untuk membongkar pengalokasian dana Rp 250 miliar dengan Kode Apendiks dalam APBA 2021, itu merupakan potensi adanya dana gelap untuk kepentingan pejabat Pemerintah Aceh. Ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat Aceh.
Secara umum, total jumlah Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Aceh yang dianggarkan hingga tahun 2020 sebesar Rp 88,7 triliun, DAU sebesar Rp 19,47 triliun, PAD sebesar Rp 31,55 triliun dan dana lainnya sebesar Rp 40,12 triliun, yang telah didistribusikan selama 10 tahun ini.
Namun, hingga saat ini dengan anggaran yang begitu besar, Aceh sudah berulang kali menjadi daerah dengan predikat nomor 1 termiskin di Sumatera. Sehingga, dapat disimpulkan sejauh ini anggaran yang begitu besar di Aceh belum mampu menyentuh masyarakat kecil dan hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Salah satu persoalan yang sangat rentan di Aceh sehingga penggunaan anggaran yang begitu besar tersebut tidak maksimal dikarenakan potensi tingginya angka korupsi.
Disamping itu, hal yang sangat miris di masa KPK sedang menyelidiki indikasi mega korupsi di Aceh, yakni Gubernur Aceh Nova Iriansyah justru secara resmi dinyatakan positif Covid-19, sementara hasil swab atau pembuktiannya tidak pernah disampaikan kepada publik.
Hal ini pula yang menghadirkan tanda tanya di publik bahwa Gubernur Aceh Nova Iriansyah seakan sengaja melakukan rekayasa untuk menghindari pemanggilan KPK. Padahal, orang nomor satu di Aceh itu dinilai semestinya menjadi sosok yang paling bertanggung jawab terkait adanya indikasi mega korupsi di Aceh.
Ironisnya lagi, setelah 14 hari menyandang status sebagai OTG (orang tanpa gejala) positif Covid-19, justru terlihat jelas Gubernur Aceh berupaya menghindari penyelidikan terbuka yang kini dilakukan KPK langsung di Aceh. Sikap Gubernur Aceh Nova Iriansyah ini dinilai sebagai sikap yang tidak kesatria dan terkesan lari dari upaya penegakan hukum yang sedang gencar dilakukan oleh KPK di provinsi baling barat Indonesia ini.
Menurutnya, KPK perlu berkoordinasi dengan Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) c/q Fakultas Kedokteran USK untuk dapat melakukan uji swab PCR secara independen dengan laboratorium USK agar hasil swab mendapat legitimasi publik.
“Jika benar Gubernur Aceh terindikasi Corona, kita harus hormati tidak mungkin hukum berlaku atas orang sakit. Hasil swab PCR yang dilakukan pihak kampus tentunya lebih akurat, kredibel dan dipercayai publik.
Hal ini untuk mengungkap tuntas kondisi kesehatan Nova Iriansyah yang disinyalir sebatas rekayasa di masa penyelidikan KPK di Bumi Serambi Mekkah, maka hasil tes dari pihak laboratorium USK dapat dijadikan pegangan publik untuk menepis isu miring yang kini tengah beredar tentang status kesehatan Gubernur Aceh,” pungkasnya. (IA)