Di Aceh, isu-isu sensitif seperti agama, pengungsi Rohingya, dan berita kekerasan sering dimanipulasi untuk kepentingan politik.
“Perlu adanya narasi tandingan dan edukasi kepada masyarakat untuk mencegah ujaran kebencian. Kolaborasi seperti yang kita lakukan hari ini sangat penting. Kita perlu mendorong kerja sama antara organisasi profesi, media, LSM, dan akademisi. Sebab, mencegah ujaran kebencian adalah tanggung jawab kolektif,” katanya.
Hasil pemantauan bersama AJI Indonesia dan Monash University, di Pilkada Aceh sejauh ini sudah menemukan sejumlah ujaran kebencian di platform media sosial Twitter (X) dan TikTok.
“Ujaran kebencian ini menargetkan suku, etnis, gender, dan agama, dengan hinaan sebagai bentuk yang paling dominan,” kata Reza Munawir, Ketua AJI Banda Aceh.
Pemantauan ini masih berlangsung.
Reza juga berharap media massa dapat memperjelas antara konten berbayar dan produk jurnalistik sehingga tidak menimbulkan salah persepsi di publik.
“Publik juga harus jeli dalam mencerna informasi, salah satunya dengan mencari sumber pembanding,” katanya.
Sementara itu, Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengungkapkan keprihatinannya terhadap minimnya peran tokoh masyarakat dalam mencegah ujaran kebencian.
“Saat ini tidak ada pimpinan partai politik atau calon kepala daerah yang mengimbau untuk mencegah ujaran kebencian. Bahkan ada tokoh spiritual yang justru memaki-maki,” tuturnya.
Terkait independensi media massa di Pilkada Aceh, Alfian menyebut masalah afiliasi pemilik modal dengan kandidat tertentu itu bukan hanya di Aceh, tapi juga terjadi di luar negeri.
“Di Aceh yang berafiliasi dengan kandidat di Pilkada itu pemilik modal, teman-teman pekerja media yang muda dan sedang bersemangat justru dimanfaatkan. Beberapa media sangat vulgar dalam menulis, ini tidak sehat untuk media tersebut secara etika pers,” katanya.